Motto Santri :

Utlubul Ilma Minal Mahdi Ilallahdi

Jumat, 26 Juni 2009

Keutamaan Ilmu dan Ulama

Mengenal Beberapa Makna Sebagian Mufradat Ayat

ُﻪﱠﻠﻟا ِﻊ َﻓ ْﺮ َﻳ

“Allah meninggikan” maknanya Allah mengangkat. Yaitu mengangkat kaum mukminin di
atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak
berilmu.

َﻢ ْﻠ ِﻌ ْﻟ ا اﻮُﺗوُأ

“orang-orang yang diberi ilmu”, yang dimaksud ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu syar’i.
Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan
agamanya berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

ٍت ﺎ َﺟ َر َد

“Beberapa derajat”. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: yaitu derajat di dalam agama ketika
mereka melaksanakan apa yang diperintahkan.

Tafsir Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan
orang-orang yang senantiasa menuntut ilmu agama. Di samping karena keimanan yang
mereka miliki, mereka juga diangkat derajat dan kedudukannya oleh Allah karena
bertambahnya ilmu agama mereka, yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan
mendekatkan kepada keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini:
- Ath-Thabari rahimahullah berkata: Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat kaum
mukminin dari kalian wahai kaum, dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. Maka
(mereka taat) pada apa yang diperintahkan kepada mereka untuk melapangkan (majelis)
ketika mereka diperintahkan untuk melapangkannya. Atau mereka bangkit menuju kebaikan
apabila diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya. Dan dengan keutamaan ilmu yang
mereka miliki, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu
dari ahlul iman (kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika
mereka mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.” Lalu beliau menukilkan beberapa
perkataan ulama salaf, di antaranya Qatadah rahimahullah, beliau berkata: “Sesungguhnya
dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan. Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas
pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan. Dan Allah
memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 28
hal.19)
Antara Ilmu dan Ibadah
Menuntut ilmu juga merupakan jenis ibadah. Namun ilmu merupakan jenis ibadah yang
memiliki nilai dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya.
Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

ُع َر َﻮ ْﻟ ا ِﻦ ْﻳ ﱢﺪ ﻟ ا ُك َﻼ ِﻣ َو ِة َد ﺎ َﺒ ِﻌ ْﻟ ا ِﻞ ْﻀَﻓ ْﻦ ِﻣ ٌﺮ ْ ﻴ َﺧ ِﻢ ْﻠ ِﻌ ْﻟ ا ُﻞ ْﻀ َﻓ

“Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Dan kunci agama adalah bersikap
wara’ (meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan memudharatkan di akhirat,
pen).” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Nu’aim, Al-Hakim, dll, dari hadits Hudzaifah
ibnul Yaman. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Qais bin’ Amr Al-Mula’i,
dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4214. Lihat pula Shahih Jami’ Bayan Al-
‘Ilmi Wa Fadhlihi no. 27)
Hadits ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntut ilmu. Ini disebabkan karena
seorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya, mendakwahkannya, hingga Allah
memberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka menjadi salah satu
amal jariyah baginya. Selama ada yang mengamalkan ilmunya tersebut, maka dia akan terus
mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala walaupun dia telah meninggal. Berbeda
dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya, tidak ada yang merasakan
manfaatnya kecuali hanya dirinya sendiri.
Ishaq bin Manshur rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad tentang
perkataannya: Mudzakarah (mengulang-ulangi) ilmu pada sebagian malam lebih aku senangi
daripada menghidupkannya (dengan qiyamul lail). Ilmu apakah yang dimaksud?” Beliau
menjawab: “Yaitu ilmu yang memberi manfaat kepada manusia dalam perkara agamanya.”
Aku bertanya lagi: “Dalam hal (cara) berwudhu’, shalat, puasa, haji, talak, dan semisalnya?”.
Beliau menjawab: “Iya.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 30/45)
Dan berkata pula Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi: Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
berkata:

ِﺔ َﻠ ِﻓ ﺎ ﱠﻨ ﻟ ا ِة َﻼ ﱠﺼﻟ ا َﻦ ِﻣ ُﻞ َﻀْﻓ َأ ِﻢ ْﻠ ِﻌ ْﻟ ا ُﺐ َﻠ َﻃ

“Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 31/48)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih
afdhal daripada seseorang yang mempelajari ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/78)

Kemuliaan Para Ulama
Ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala ini menjelaskan demikian tingginya derajat dan kedudukan
para ulama di atas yang lainnya. Dan merekalah orang-orang yang senantiasa mendapatkan
kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan juga di kalangan manusia. Di dalam ayat
yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ُء ﺂ ﺸ َﻧ ْﻦ َﻣ ٍت ﺎ َﺟ َر َد ُﻊ َﻓ ْﺮ َﻧ

“Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki.” (Yusuf: 76)
Al-Imam Malik rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Yaitu dengan
ilmu.” (dikeluarkan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul
Bayan. Lihat Madarikun Nazhar hal. 36)
Zaid bin Aslam rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
اًرﻮُﺑَز َد ُو ا َد ﺎَﻨْﻴَﺗﺁَو ٍﺾْﻌ َﺑ ﻰَﻠَﻋ َﻦﻴﱢﻴِﺒﱠﻨﻟا َﺾْﻌ َﺑ ﺎَﻨْﻠﱠﻀَﻓ ْﺪ َﻘ َﻟ َو

“… Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain),
dan Kami berikan Zabur (kepada Dawud).” (Al-Isra: 55)
kata beliau: “yaitu dengan ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/79).
Diberitakan oleh Asy’ats bin Syu’bah Al-Misshishi bahwa beliau berkata: Suatu hari Harun
Ar-Rasyid pergi ke Raqqah, maka berlalu gerombolan manusia di belakang Abdullah ibnul
Mubarak, terputuslah sandal-sandal, debu-debu bertebaran. Lalu salah seorang budak wanita
Amirul Mukminin melongok dari dalam istana, lalu bertanya: “Siapa ini?” Mereka
menjawab: “Seorang alim dari Khurasan telah datang.”
Berkatalah sang budak: “Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya, bukan kerajaan milik
Harun yang mengumpulkan manusia dengan tentaranya dan para pembantunya.” (Siyaru
A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 8/384)
Wallahi, inilah kemuliaan yang sebenarnya. Dan bukanlah kemuliaan ketika seseorang
diberikan pundi-pundi harta kekayaan, atau jabatan yang menjadi incaran, atau partai-partai
yang menjadi dambaan, atau duduk di kursi DPR/MPR, dengan dalih “menegakkan syariat
Islam”, “merintis khilafah Islam”, dan propaganda lainnya.
Katakanlah kepada mereka: “Wahai orang-orang yang muflis (bangkrut), bagaimanapun
pandainya kalian dalam menata organisasi dan partai kalian, menyelenggarakan berbagai
macam kegiatan hizbiyyah kalian, menjaga diri dari berbagai makar dan tipu daya syaithan,
kalian tidaklah mungkin mendapatkan kemuliaan dan keagungan hingga kalian menjadikan
amalan kalian di atas ilmu, mengenal keutamaan ilmu, dan ahli ilmu.” (Lihat Madarikun
Nazhar, hal. 36)
Suatu hal yang mustahil bagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam, mendirikan
khilafah Islamiyah, namun menempuhnya dengan cara-cara yang batil, dengan membentuk
partai, masuk ke dalam parlemen, menundukkan dirinya di hadapan demokrasi yang thaghut,
dan tidak membangun segala aktivitasnya di atas ilmu yang haq dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh mereka hanyalah mencari sesuatu yang
bersifat fatamorgana, sebagaimana sebuah syair:

ِﺲ َﺒ َﻴ ْﻟ ا َﻰ ﻠ َﻋ يِﺮْﺠَﺗ َﻻ َﺔ َﻨ ْﻴ ِﻔ ﱠﺴ ﻟ ا ﱠن ِإ ﺎ َﻬ َﻜ ِﻟ ﺎ َﺴ َﻣ ْﻚ ُﻠ ْﺴ َﺗ ْﻢ َﻟ َو َة ﺎ َﺠ ﱠﻨ ﻟ ا ﻮُﺟْﺮَﺗ

Kalian mengharapkan keselamatan namun tidak menempuh jalan-jalannya
Sesungguhnya kapal tidak akan berlayar di atas tempat yang kering

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Di antara tanda berpalingnya Allah dari hamba-
Nya adalah dia menjadikan sibuk terhadap apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (At-
Tamhid, Ibnu Abdil Bar. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 444)
Dengan ilmulah seseorang akan mendapatkan kemuliaan dunia sebelum akhirat.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memilih Thalut untuk memimpin Bani Israil,
firman-Nya:

ﺎًﻜِﻠَﻣ َت ﻮ ُﻟ ﺎ َﻃ ْﻢ ُﻜ َﻟ َﺚ َﻌ َﺑ ْﺪ َﻗ َﻪﱠﻠﻟا ﱠن ِإ ْﻢ ُﻬ ﱡﻴ ِﺒ َﻧ ْﻢ ُﻬ َﻟ َل ﺎ َﻗ َو

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut
menjadi rajamu.’…” (Al-Baqarah: 247)
Di dalam Shahih Muslim dari ‘Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdil Harits bertemu ‘Umar di ‘Usfan. Ketika itu ‘Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Makkah. Kemudian
‘Umar bertanya: “Siapa yang engkau angkat jadi pemimpin daerah lembah?” Beliau
menjawab: “Ibnu Abza.” (‘Umar) bertanya: “Siapa Ibnu Abza?” Beliau menjawab: “Dia
adalah salah satu bekas budak kami.” (‘Umar) bertanya: “Engkau jadikan yang memimpin
mereka dari kalangan maula (bekas budak)?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia
mempunyai ilmu tentang kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan alim dalam ilmu warisan.”
‘Umar berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Nabimu Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda:

َﻦ ْﻳ ِﺮ َﺧ ﺁ ِﻪ ِﺑ ُﻊ َﻀَﻳ َو ﺎ ًﻣ ا َﻮ ْﻗ َأ َب ﺎ َﺘ ِﻜ ْﻟ ا اَﺬَﻬِﺑ ُﻊ َﻓ ْﺮ َﻳ َﷲ ا ﱠن ِإ

“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) sebagian kaum dengan kitab ini (Al Qur’an),
dan dengannya Allah merendahkan yang lainnya.”
Ahmad bin Ja’far bin Muslim rahimahullah berkata: Aku mendengarkan Abbar berkata:
Ketika aku berada di Al-Ahwaz, aku melihat ada seorang laki-laki yang telah mencukur
habis kumisnya,-(Ahmad bin Ja’far berkata) aku menyangka dia berkata- dia telah membeli
beberapa kitab dan siap menjadi seorang mufti. Lalu disebutkan kepadanya ashabul hadits,
maka dia menjawab: “Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak memiliki apa-apa.” Aku
pun berkata (kepadanya): “Engkau tidak pandai mengerjakan shalat.” Dia berkata: ‘Aku?’.
Aku menjawab: ‘Iya, apa yang engkau hafal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika engkau membuka shalatmu dan mengangkat kedua tanganmu?’ Maka dia terdiam.
Aku pun bertanya kembali: ‘Apa yang engkau hafal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tatkala engkau sujud?’. Dia kembali terdiam. Aku berkata: ‘Bukankah aku telah
mengatakan engkau tidak pandai mengerjakan shalat? Maka janganlah engkau menjelekkan
ashabul hadits.” (Siyaru A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 13/444)

Ulama adalah Para Mujahid
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan orang-orang yang menuntut ilmu sebagai salah
satu bagian dalam jihad fi sabilillah. Firman-Nya:

ْﻢ ُﻬ ﱠﻠ َﻌ َﻟ ْﻢ ِﻬ ْﻴ َﻟ ِإ ا ﻮ ُﻌ َﺟ َر اَذِإ ْﻢ ُﻬ َﻣ ْﻮ َﻗ ا و ُر ِﺬ ْﻨ ُﻴ ِﻟ َو ِﻦ ﻳ ﱢﺪ ﻟ ا ﻲِﻓ ا ﻮ ُﻬ ﱠﻘ َﻔ َﺘ َﻴ ِﻟ ٌﺔ َﻔ ِﺋ ﺎ َﻃ ْﻢ ُﻬ ْﻨ ِﻣ ٍﺔ َﻗ ْﺮ ِﻓ ﱢﻞ ُآ ْﻦ ِﻣ َﺮ َﻔ َﻧ َﻻ ْﻮ َﻠ َﻓ ًﺔ ﱠﻓ ﺎ َآ ا و ُﺮ ِﻔ ْﻨ َﻴ ِﻟ َنﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا َن ﺎ َآ ﺎَﻣَو
َن و ُر َﺬ ْﺤ َﻳ

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (At-Taubah:122)
Abu Darda radhiallahu 'anhu berkata: “Barangsiapa yang menganggap bahwa berangkatnya
seseorang mencari ilmu itu bukan jihad, maka sungguh dia kurang akal dan fikiran.” (Lihat
Shahih Jami’ Al Bayan, 35/56)
Terhadap merekalah kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk kepadanya ketika mereka
menghadapi berbagai macam problem dan masyakil di dalam agama mereka. Baik masalah
bersuci, shalat, puasa, zakat, jihad, maupun persoalan-persoalan kontemporer (fiqh nawazil)
dan lain sebagainya. Barangsiapa yang membagi para ulama menjadi dua: ulama dalam
urusan jihad dan ulama mengurusi selain jihad, maka sungguh dia telah terjerumus dalam
kebatilan yang nyata.
Asy Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Jika sekiranya sikap memberontak terhadap

pemerintah mendatangkan kejahatan yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i yang saling
menyatu, disertai dengan berbagai kejadian yang nyata, sebagaimana yang nampak dari hasil
perbuatan para ahli bid’ah di setiap zaman. Maka lebih jahat lagi adalah orang-orang yang
keluar dari para ulamanya dengan menjatuhkan hak-hak mereka, dan tidak bersandar kepada
fatwa-fatwa mereka kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu para haraki (Ikhwanul
Muslimin, pen) dan meremehkan kedudukan mereka dalam hal (menyikapi) politik, dan
melontarkan tuduhan kepada mereka dengan istilah “ulama di rumah wudhu”, dan gelar-
gelar semisalnya yang diwarisi oleh para ahlul bid’ah yang hina dari yang hina, yang
ditujukan kepada para ulama salafiyyin yang mulia kepada yang mulia. Dan hal ini berarti
menggugurkan syariat dengan mencerca para saksi dan pembawanya. Dan Allah akan
memenuhi janjinya.” (Madarikun Nazhar, hal. 227-228)

Tidak ada komentar: