Motto Santri :

Utlubul Ilma Minal Mahdi Ilallahdi

Jumat, 08 April 2011

Keagungan Ma'rifatullah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan padanya, maka dia akan dipahamkan/difaqihkan dalam (urusan) agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya fiqih tentang nama-nama Allah yang terindah (al-Asma' al-Husna) adalah sebuah bidang ilmu yang sangat utama, bahkan ia merupakan fiqih yang terbesar. Ilmu ini menduduki posisi pertama-tama dan terdepan dalam kandungan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan padanya, maka dia akan dipahamkan/difaqihkan dalam (urusan) agama.” (Muttafaq 'alaih). Ia merupakan sebaik-baik perkara yang semestinya digapai selama hidup, sebaik-baik ilmu yang digali dan diraih oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan dan akal yang terbimbing. Bahkan ia merupakan puncak tertinggi yang menjadi target untuk berlomba-lomba dan ujung cita-cita yang menjadi tujuan bagi orang-orang yang saling bersaing dalam kebaikan. Ia merupakan pilar perjalanan hidup menuju Allah dan pintu gerbang yang tepat untuk menggapai cinta dan ridha-Nya. Ia merupakan jalan yang lurus yang ditempuh oleh orang-orang yang dicintai Allah dan dipilih-Nya.” (Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 11)

Fiqih tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan pondasi agama seorang hamba. Sebab ia merupakan bagian utama dalam keimanan kepada Allah. Inilah pondasi yang tidak boleh dilupakan dan pilar agama yang tidak layak diabaikan. Pondasi amalan ada dua -sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah- yaitu:
1. Mengenal Allah dengan benar, memahami perintah-perintah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya
2. Memurnikan ketundukan kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada selainnya. Kedua hal inilah pondasi paling kuat yang akan melandasi bangunan agama seorang hamba. Kekuatan dan ketinggian agama seseorang akan tergantung pada kekuatan dua hal ini (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 12)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur'an terdapat penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya yang jauh lebih banyak daripada ayat-ayat yang di dalamnya terkandung penyebutan mengenai makan, minum dan pernikahan di surga. Ayat-ayat yang mengandung penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya itu lebih agung kedudukannya daripada ayat-ayat tentang hari kiamat. Ayat paling agung di dalam al-Qur'an adalah ayat Kursi yang mengandung ayat-ayat semacam itu...” (Dar'u at-Ta'arudh, sebagaimana dinukil dalam Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 13-14)

Mengenal dan merenungkan keagungan nama-nama dan sifat-sifat Allah termasuk inti dakwah para nabi dan rasul. Diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para rasul itu berporos pada tiga perkara:
1. Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
2. Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir kepada-Nya, bersyukur dan beribadah kepada-Nya
3. Menerangkan kepada mereka tentang balasan yang akan mereka terima sesampainya mereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan surga dan yang paling utama di antaranya adalah keridhaan Allah dan kenikmatan memandang wajah-Nya dan Allah pun mengajak bicara dengan mereka (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 16-17)

Mengenal Allah merupakan sebuah kenikmatan tiada tara yang banyak tidak dirasakan oleh manusia. Sebagian ulama salaf berkata, “Orang-orang yang malang di antara penduduk dunia ini adalah mereka yang keluar darinya -dari dunia- dan tidak sempat mencicipi kenikmatan paling lezat di dalamnya.” Lantas ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan paling lezat yang ada di dalamnya?”. Dia menjawab, “Mengenal Allah, mencintai-Nya dan merasa tentram dengan mendekatkan diri kepada-Nya serta rindu untuk berjumpa dengan-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 21)

Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan mengenal Allah di sini bukanlah sekedar wawasan, dimana orang yang taat maupun orang bejat sama-sama memilikinya. Namun, yang dimaksud adalah pengenalan yang diiringi dengan perasaan malu kepada Allah, cinta kepada-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, takut kepada-Nya, bertaubat dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya, merasa tentram dengan-Nya, dan rela meninggalkan makhluk demi mengabdi kepada-Nya (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 22)

Melupakan perenungan terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya termasuk tindakan melupakan Allah ta'ala. Sungguh ini merupakan perbuatan yang sangat tercela. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun membuat mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Hasyr: 19). Barangsiapa yang melupakan Allah, maka akan membuatnya lupa akan jati dirinya sendiri, lupa akan kemaslahatan hidupnya di dunia maupun di akherat, tidak mengetahui sebab-sebab yang akan mengantarkan dirinya menuju kebahagiaan di dunia dan di akherat... (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 25). Aduhai betapa malangnya orang semacam ini!

Yang dimaksud 'melupakan Allah' itu meliputi:
1. Meninggalkan perintah Allah, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Baghawi dan Ibnul Jauzi rahimahumallah dalam tafsirnya
2. Meninggalkan dzikir/mengingat Allah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya
3. Tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya dan tidak merasa takut kepada-Nya, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya
4. Meninggalkan kewajiban yang Allah bebankan kepada mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya (lihat tafsiran-tafsiran di atas di dalam software Maktabah asy-Syamilah)

Oleh sebab itu, tidak selayaknya bagi kaum muslimin, apalagi para penuntut ilmu untuk meremehkan pembahasan atau kajian mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah. Karena ini merupakan fiqih akbar yang akan mengenalkan kita dengan Rabb yang kita sembah, Rabb yang telah melimpahkan sekian banyak nikmat kepada kita, Rabb yang kalaupun menimpakan musibah kepada kita itupun karena hikmah dari-Nya, Rabb yang akan mengingat dan menolong kita selama kita mau mengingat dan membela agama-Nya.

Menempa Hati Untuk Ikhlas....

Ikhlas, merupakan bukti pengenalan hamba kepada Allah. Ikhlas juga menjadi bukti kesetiaan seorang hamba terhadap ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “... Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (al-Fawa'id, hal. 34)

Ada empat perkara yang selalu dibutuhkan oleh setiap insan: [1] Perkara yang disenangi dan dituntut keberadaannya, [2] Perkara yang dibenci dan dituntut ketiadaannya, [3] Sarana untuk bisa mendapatkan perkara yang disenangi dan diinginkan tersebut, [4] Sarana untuk menolak perkara yang dibenci tadi. Keempat perkara ini sangat mendesak diperlukan oleh setiap hamba, bahkan binatang sekalipun, sebab keberadaan mereka tidak akan sempurna dan menjadi baik kecuali dengan terpenuhinya itu semua (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).

Apabila hal itu telah jelas, maka patut untuk disadari bahwasanya Allah ta'ala merupakan sosok yang paling layak untuk disukai dan diharapkan. Sehingga seorang hamba akan senantiasa mencari keridhaan-Nya dan berusaha sekuat tenaga untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya. Sementara hanya Allah jua lah yang mampu menolong dirinya untuk terwujudnya itu semua. Adapun, penghambaan dan ketergantungan hati kepada selain-Nya jelas merupakan perkara yang dibenci dan membahayakan diri seorang hamba. Sementara hanya Allah jua lah yang mampu menolong dirinya untuk menolak bahaya itu darinya. Ini artinya, pada diri Allah ta'ala terkumpul keempat perkara yang diperlukan oleh setiap manusia (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).

Oleh sebab itulah, kebaikan dan kebahagiaan seorang hamba sangatlah bergantung pada perjuangannya dalam mewujudkan kandungan ayat 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in' -hanya kepada-Mulah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan-. Ayat ini menggambarkan bahwa Allah merupakan sosok yang paling dicari/dibutuhkan dan dikehendaki, sekaligus menunjukkan bahwa Dia semata yang paling berhak untuk dimintai pertolongan untuk bisa meraih apa yang dikehendaki oleh hamba-Nya. Bagian yang pertama mengandung pokok tauhid uluhiyah, sedangkan bagian kedua mengandung pokok tauhid rububiyah (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 41).

Dari sinilah, kita bisa mengerti bahwa sesungguhnya tiada kebahagiaan bagi hati, tiada kelezatan yang hakiki, tidak juga kenikmatan ataupun kebaikan yang sejati untuknya kecuali dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan (ilah), satu-satunya pencipta dan menjadikan-Nya sebagai puncak harapan dan kecintaan, yang lebih dicintai oleh seorang hamba daripada segala sesuatu (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40)

Ikhlas --yaitu memurnikan amal ketaatan semata-mata untuk Allah, bukan untuk selain-Nya-- merupakan inti dari ajaran Islam selain kewajiban untuk harus selalu mengikuti Sunnah/tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena ikhlas merupakan kandungan dari kalimat syahadat la ilaha illallah, adapun kesetiaan kepada Sunnah (mutaba'ah) merupakan kandungan kalimat syahadat Muhammad rasulullah. Sementara, merealisasikan keikhlasan ini merupakan perkara yang sangat berat dan membutuhkan perjuangan. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 26).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa merealisasikan la ilaha illallah adalah sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata: 'Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan'. Sebagian salaf juga mengatakan: 'Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas'. Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.

Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat'. Maka beliau menjawab: 'Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?' Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-.

Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, 'Benarkah kalian merasakan hal itu?'. Mereka menjawab, 'Benar'. Beliau pun bersabda, 'Itulah kejelasan iman' (HR. Muslim). Artinya hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [1/38])

Saudara-saudara sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita bimbingan dan pertolongan... sesungguhnya pada masa-masa seperti sekarang ini; masa yang penuh dengan ujian dan godaan serta kekacauan yang meluas di berbagai sudut kehidupan... kita sangat memerlukan hadirnya hati yang diwarnai dengan keikhlasan. Hati yang selamat, sebagaimana yang disinggung oleh Allah ta'ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu'ara': 88-89)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta terbebas dari kecintaan kepada keburukan/dosa atau perilaku terus menerus berkubang dalam kebid'ahan dan dosa-dosa. Karena hati itu bersih dari apa-apa yang disebutkan tadi, maka konsekuensinya adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya -tampak indah- kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya akan senantiasa mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya akan tunduk patuh mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Ia adalah hati yang selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang menyelisihi berita yang dikabarkan-Nya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mensifatkan pemilik hati yang selamat itu dengan ucapannya, “...Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara...”. Kemudian, beliau juga mengatakan, “... amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga karena Allah...” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Sangat banyak ayat maupun hadits yang memerintahkan untuk ikhlas dan menjelaskan keutamaannya. Bukankah yang membedakan para Sahabat dengan orang-orang munafik adalah karena keikhlasan dan kejujuran yang ada di dalam hati mereka?

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa'atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari). Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran maka dia tidak akan terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan-kemaksiatan. Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna menghalangi dirinya dari terus-menerus berkubang dalam maksiat. Oleh sebab itu dia akan bisa masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta'ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa'i dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya')

Sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan -musuhnya-.” (al-Fawa'id, hal. 143)

Sholatku…….Mengapa Sering Masbuq

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.

Para Pembaca –yang semoga senantiasa mendapat rahmat Allah dimanapun berada-, ilmu agama merupakan suatu hal yang harus dicari seorang hamba yang ingin beribadah dengan benar kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian telah ditempuh para ulama kita mulai dari Zaman sahabat hingga di zaman kita sekarang. Lihatlah betapa gigih dan yakinnya seorang sahabat yang mulia dalam mencari kebenaran dalam beragama,…lihatlah kisah-kisah beliau Salman Al Farisi rodhiyallahu ‘anhu dalam mencari agama yang Allah inginkan. Lihatlah juga di zaman kita betapa gigih Syaikh Al Albani dalam menggali ilmu hadits dan berdakwah….

Namun hal yang sangat disayangkan diantara kita yang mengaku, menisbatkan diri kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah sering kali kita dapati betapa ilmu yang telah kita dapatkan ternyata realisasinya kurang…realisasinya masih jauh dari apa yang telah kita ketahui…Lalu apakah kita belajar agama untuk menambah wawasan semata….!!!!?? Atau apakah ketika pakaian kita telah mengikuti sunnah namun ibadah dan ghiroh kita akan ibadah boleh kendor ???!!!! Apakah ketika kita telah mengerti tauhid lantas meremehkan ibadah yang hukumnya mustahab…??!!! Bukanlah yang pada dasarnya amal mustahab menuntut amal untuk dikerjakan ???!!!!

Wahai diriku, wahai jiwaku, wahai jiwa saudara- saudaraku yang mengaku bermanhaj salaf, mana amal dari ilmu kita ???!!!! Apakah ilmu kita tuntut untuk merendahkan kaum muslimin yang masih jahil terhadap agamanya ??!!! Lihatlah wahai saudaraku betapa banyak kalangan salaf yang mengatakan,

العِلْمُ خَادِمُ الْعَمَلِ وَالْعَمَلُ غَيَةُ الْعِلْمِ, فَلَوْ لَا الْعَمَلُ لَمْ يُطْلَبُ عِلْمٌ, فَلَوْ لَا الْعِلْمُ لَمْ يُطْلَبُ عَمَلٌ

“Ilmu adalah pelayannya amal dan amal adalah tujuan utama ilmu. Maka kalaulah bukan karena amal maka tidaklah dicari ilmu dan kalaulah bukan karena ilmu tidaklah dituntut amal”[1].
Lihatlah perkataan Abbas bin Ahmad ketika menafsirkan firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menuju kami, maka akan kami berikan kepada mereka hidayah menuju kami”. [QS. Al Ankabut (29) : 69]

قَالَ : الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ بِمَا يَعْلَمُوْنَ نَهْدِيْهِمْ إِلَى مَا لَا يَعْلَمُوْنَ

Beliau mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang mengamalkan apa yang mereka ketahui maka Kami (Allah) akan berikan kepada mereka petunjuk terhadap hal-hal yang belum mereka ketahui”[2].

Nah diantara apa yang kita amati sering terjadi adalah sebagian dikalangan saudara kita yang mengaku bermanhaj salaf sering masbuq dalam sholat dan inilah yang akan menjadi topik bahasan kita yang selanjutnya diharapkan berbuah amal.
lihat selengkapnya di http://alhijroh.net/fiqih-tazkiyatun-nafs/sholatku-mengapa-sering-masbuq/