Motto Santri :

Utlubul Ilma Minal Mahdi Ilallahdi

Rabu, 16 September 2009

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H


Segenap Keluarga Besar Komunitas Santri Kaliwungu Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H

koleksi kata-kata ucapan idul fitri

ucapan hari raya idul fitri
Menyambung kasih beralas ikhlas, Beratap doa
Semasa hidup bersimbah khilaf
Atas segala ucap, tingkah, dan prasangka yang pernah singgah
Hingga menaruh luka di hati
Tiada syair seindah dzikir
Tiada bulan sefitrah syawal
Mengharap diri di hapus maaf

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H
----------------------------------------------------------------------------
Jika hati sejernih air,
Jangan biarkan ia keruh.

Jika hati seputih awan,
Jangan biarkan ia mendung.

Jika hati seindah bulan,
Maka hiasi ia dengan iman…

MINAL AIDIN WAL FAIDZIN…
------------------------------------------------------------------------------------
Seiring doa dan keikhlasan hati
Mohon maaf lahir dan batin.
Taqobballahu minna wa minkum,
Minal aidhina wal faizin,
Kullu amin wa antum bi khoir
------------------------------------------------------------------------------------
Dikala embun menebar kesejukan,
Segala dosa dan khilaf
Sirna dan lebur abadi
Bersama ikhlasnya ibadah shaum.
Ku pinta pintu maafmu,
Izinkan hatiku berucap
“ Minal Aizin Wal Faizin “
Mohon Maaf Lahir dan Batin
------------------------------------------------------------------------------------
Seiring gemuruh takbir
Jagad raya bertasbih
Desir angin kemenangan
Berhembus tuk sampaikan
Maaf atas segala dosa dan khilaf yang tertoreh
Minal aidhin wal faizin
Mohon maaf semua salah-salahku padamu
------------------------------------------------------------------------------------
Diantara fajar fitrah yang merekah,
Disela hentakan beedug dan salam takbir
Dengarlah satu pintaku,
Kumohon maafmu dari lahir dan batin
SELAMAT IDUL FITRI 1429 H
Minal Aidin Walfaidin.
------------------------------------------------------------------------------------
Taqabballahuminna Wamingkum
Wasiyamana Wasiyakum
Waghofarollahulana Walakum,
Kulla ‘amin wa’antum bikhoiri amin….
-------------------------------------------------------------------------------------
Allah akbar, hati kadang tak sebening Xl, ta’ secerah MENTARI.
FREN, kumohon SIMPATImu tuk BEBASkan dari segala dosa yang aku sengaja atau tidak.
Met lebaran…. “ minal aidin”
-------------------------------------------------------------------------------------
Seiring berkumandangnya takbir di telinga
Dan hati yang teraliri cintaNya.
Bibir berkata “ Taqabbalallahu minna wa minkum,
kullu ‘amin wa antum bikhair “
semoga allah ridho pada hati untuk kembali fitri
-------------------------------------------------------------------------------------
kebaikan dan keikhlasan adalah kunci surga.
Karena itu saya mohon keikhlasan hati sahabat semua,
Tuk memaafkan semua kesalahan saya.
Met idul fitri…..
-------------------------------------------------------------------------------------
Tak terasa kita telah berada di penghujung ramadhan
Dan hidnug takbirkan berkumandang.
Taqabballahuminna Wamingkum
Wasiyamana Wasiyakum
Minal aidin walfaizin….
-------------------------------------------------------------------------------------
Meski wajah tak bertatap, tangan tak berjabat,
Tapi hati tetap dekat, jiwa tetap lekat,
Atas segala dosaku ucapkan Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------
Mata kadang salah melihat…..
Mulut kadang salah berucap…..
Hati kadang salah menduga…..
Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------
Dahar ketupat sayur santen,
Mbok bilih wonten lepat,
Kula nyuwun pangapunten…..
Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------

Seiring gemuruh takbir bergema,
Desir angin kemenangan berhembus.
Walau jemari tak kuat menorah luka
Semoga masih ada maaf tersisa dengan penuh keikhlasan
Selamat idul fitri….
Ketika harap tak lagi berarti
Ketika angan tak lagi tergapai
Biar semua kembali adanya tanpa berujung kebencian
Bila kata mengandung luka
Bila luka sesakan kalbu
Ketika malam tiba aku tundukan mahkota dunia
Menyambut malam nan tiba
Menyambut hari nan fitri
Dan … di hari yang fitri ini
beriring dengan tetesan air mata
sebagai cermin segala tingkah
betapa bingung menyusun kata,
betapa sulit sms terkirim,
tangan pun belum sempat berjabat,
lewat sms ini dengan hai yang tulus
mohon maaf atas semua salah yang pernah ada.
Met idul fitri…..
-------------------------------------------------------------------------------------
Makna fitri adalah kembali ke awal penciptaan
Tiada dosa…
Seomga kita meraih kefitrian itu…
Kita lebur khilaf dengan maaf
Met idul fitri…..
Maafka segala kesalahanku…
-------------------------------------------------------------------------------------
Tiada lagi yang aku harap dari mu, kecuali keikhlasan hati.
Ketulusan maaf untuk pribadi yang hina & tiada berarti.
Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------
Tiada syair seindah dzikir
Tiada tari seindah sholat
Tiada bahasa seindah al-qur’an
Tiada tali sekuat persaudaraan
Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------
Sepuluh jari tersusun rapi,
Bunga melati pengharum hati,
Smsm dikirim pengganti diri,
Memohon maaf setulus hati.
Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------
Di ujung ramadhan sambut kemenangan
Sucikan hati , salam fitri.
Maaf lahir batin atas segala salah alpa khilaf
Ja’alanallah waiyyakum
Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------
Bila mata salah melihat,
Mulu salah berbicara
Telinga salah mendengar & hati salah menduga
Tangan & kaki salah bertindak
Maka di bulan yang penuh rahmat ini
Mari kiat saling memaafkan
Selamat hari raya idul fitri…
-------------------------------------------------------------------------------------
Firdaus yang indah sedang berseri menjadi hiasan di idul fitri
Sms dikirim pengganti diri
tanda ingatan tak layu di hati
met lebaran……..
-------------------------------------------------------------------------------------
dosa-dosa yang telah kronis,
kesalahan yang menjadi Carcinoma
dan ucapan yang menjadi Jejjas,
dapat berMetafose keHepar.
Mari kita Seesio semua dosa-dosa kita dihari yang fitri ini.
Mohon maaf lahir & batin
-------------------------------------------------------------------------------------
Bila ada kata yang membuat murka,
Ada langkah yang membuat luka
Ada tingkh yang membuat lara
Ada hati yang salah menduga
Monon maaf segala dosa….
Ja’alanallah waiyyakum
Minal Aidin Walfaidin.
-------------------------------------------------------------------------------------
Andai jemari tak kuasa berjabat,
Tapi setidaknya kata masih bisa terungkap
Dengan tulus hati diriku memohon maaf lahir & batin

koleksi sms lebaran

Hari-hari yang kita lalui,tidak hanya saling berbagi,
namun juga saling menyakiti. Di hari idul fitri ini,
tak hanya maafmu yang kuingini,
namun juga tekad saling menasehati,
untuk terus memperbaiki diri.


If there’s a day, There must be a night.
If there’s a black,there must be a white.
If there’s a mistakes,there must be forgiveness
-MINAL AIDIN WAL FAIDZIN…Yaa!


Aq Nuwun Pangapura Kesalahan
Pitutur Uga Tindakanku Marang Kowe
Muga2x Kabeh Dosaku Lan Dosamu
Di Lebur Ing Dino Riyoyo
Minal Aidzin Wal Faidzin..
Selamat Hari Raya Idul Fitri


Jika aku tak memberi maaf
Bukan karena aku tak mau memberi maaf
Tetapi engkau tak punya salah
Maaf apa yang harus kuberikan?


Jika aku meminta maaf
Bukan karena hari ini Lebaran
Tetapi karena Ridho Allah SWT
Yang telah membukakan pintu kejujuran hati nurani
Untuk mengakui segala khilaf dan alpa
Dengan segenap cemas dan sesal Aku memohon maaf


#HIDUP HANYA SEBENTAR#
SEBENTAR senang SEBENTAR sedih
SEBENTAR bokek SEBENTAR berduit
SEBENTAR ketawa SEBENTAR lagi… $LEBARAN Idul Fitri$
Mohon Maaf Lahir Batin


Mas, ngapunten ingkang kathah
kangge sedayanipun kalepatan kula dhateng panjenengan.
Yoyok sekeluarga ngaturaken sugeng idul fitri 1429 H.
Mohon maaf lahir kaliyan batin.


Faith makes all things possible.
Hope makes all things work.
Love makes all things beautiful.
May you have all of the three.
Happy Iedul Fitri


walopun operator sibuk n’ sms pending terus,
kami sekeluarga tetap kekeuh mengucapkan Selamat Idul Fitri,
mohon maaf lahir dan batin Bila kata merangkai dusta..
Bila langkah membekas lara… Bila hati penuh prasangka…
Dan bila ada langkah yang menoreh luka.
Mohon bukakan pintu maaf…
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

Minggu, 06 September 2009

Antara Si Kaya yang Bersyukur dan Si Fakir yang Bersabar

Masalah siapa yang lebih utama antara si kaya yang bersyukur dan si fakir yang bersabar adalah masalah yang banyak dibicarakan oleh manusia. Sebagian mereka menulis tentangnya. Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata :

Diantara penulis yang kami ketahui yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri adalah Al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah. Dia menulis sebuah kitab yang berjudul uddatush-shaabirin wa dzakhiratusy-syaakirin. Dan Ash-Shan’ani rahimahullah juga menulis sebuah kitab yang berjudul as-saiful baatir fil mufadhalah bainal faqiirish-shaabir wal ghaniyyi asy-syakir, dia menyebutkannya di dalam Al Uddah seraya mengatakan bahwa dia meringkasnya dari karya Ibnul Qayyim dan berkata : “Ini adalah kitab yang luar biasa, tidak ada tandingannya. Kami menyusunnya di Makkah pada tahun 1135 H”.

Diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar daripada si kaya yang beryukur adalah firman Allah Ta’ala :


] أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا [ (الفرقان: مِن الآية75).

Artinya : Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka.

Muhammad bin Ali bin Al Husain berkata : “Kata ghurfah berarti syurga. Dan kalimat bimaa shabaruu bermakna karena kesabaran mereka terhadap kefakiran di dunia.

Dan diantaranya adalah bahwa kaum fuqara’ akan masuk kedalam syurga mendahului kaum kaya setengah hari (sebelum mereka), setengah hari sebanding dengan 500 tahun (waktu di dunia). Dan terdapat riwayat dengan 40 kali musim gugur. Sehingga kaum kaya muslimin berangan-angan bahwa seandainya mereka dahulu termasuk kaum fuqara’.

Dan diantaranya adalah bahwa tidaklah Allah menyebutkan tentang dunia melainkan dengan celaan. Terkadang Allah menyebutkan tentang harta yang merupakan sebab bertindak melampaui batas, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

] كَلَّا إِنَّ الْأِنْسَانَ لَيَطْغَى $ أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى [ (العلق:6-7).

Artinya : Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.

Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan sebab kedurhakaan. Allah Ta’ala berfirman :


] وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ [ (الشورى: مِن الآية27).

Artinya : Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan durhaka di muka bumi.

Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan fitnah :


] إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَة [ (التغابن: مِن الآية15).

Artinya : Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu).

Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta dan anak tidak membantu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala :


] وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عَندَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً [ (سـبأ: مِن الآية37).

Artinya : Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kalian yang mendekatkan kalian kepada Kami sedekat-dekatnya; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.

Dan diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dipilih oleh Allah dalam keadaan fakir. Sesungguhnya telah ditawarkan kepada beliau kunci-kunci khazanah bumi, tetapi beliau menolaknya seraya berkata :


((بَلْ أَجُوْعُ يَوْماً وَأَشْبَعُ يَوْماً، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ)).

Artinya : “Bahkan saya lapar sehari dan kenyang sehari. Apabila saya lapar, maka saya merendahkan diri kepada-Mu dan mengingat-Mu. Dan apabila saya kenyang, maka saya memuji-Mu dan bersyukur kepada-Mu”.

Ini adalah kesimpulan pendapat mereka yang mengunggulkan orang fakir yang bersabar.

Pendapat tersebut telah disanggah oleh mereka yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur dengan dalil-dalil yang dibawakan oleh mereka yang mengunggulkan si fakir yang bersabar. Kemudian mereka berkata :

Adapun ayat yang (kalian bawakan), maka tidak ada keterangan yang mendukung pendapat kalian padanya, sebab kesabaran di dalam ayat tersebut umum, mencakup seluruh macam kesabaran. Ia mencakup :

- sabar untuk tidak melanggar yang diharamkan bagi yang memiliki kesempatan untuk melakukan keharaman tersebut dengan hartanya,

- sabar dalam menjalankan ketaatan,

- sabar dalam menerima berbagai macam cobaan, seperti sakit, musibah, kefakiran, desakan kebutuhan dan selainnya.

Adapun tentang masuknya kaum fuqara’ kedalam syurga, maka tidak serta merta hal tersebut menunjukkan berkurangnya derajat si kaya, bahkan bisa jadi si kaya yang belakangan masuk syurga, lebih tinggi derajatnya daripada si fakir yang mendahuluinya masuk syurga.

Adapun celaan Allah terhadap dunia dan harta, sesungguhya celaan tersebut hanya berlaku pada orang yang membelanjakan hartanya dalam bermaksiat kepada Allah. Sedangkan orang yang membelanjakan hartanya di dalam ketaatan kepada Allah, maka yang demikian adalah terpuji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :


] وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ $ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [ (المعارج:24-25).

Artinya : Dan orang-orang yang di dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).

Dan Allah Ta’ala berfirman :


] فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى $ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى $ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى [ (الليل:5-7).

Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Adapun tentang Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Allah telah menghimpun bagi beliau antara kedudukan kaya bersyukur dan fakir bersabar. Berapa banyak harta yang datang kepada beliau, namun beliau ‘alaihish-shalatu was-salam enggan menerima dan menafkahkannya di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Dan diantara dalilnya adalah bahwa sesungguhnya dahulu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjamu setiap tamu yang datang pada tahun-tahun terakhir setelah fathu Makkah, padahal jumlah mereka banyak. Bersama itu beliau wafat dalam keadaan baju perang beliau digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum sebagai nafkah bagi keluarga beliau.

Sementara diantara dalil yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar adalah hadits :


عَنْ سُمَيٍّ مَوْلََى أَبِي بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّان عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t أَنَّ فُقَرَاءَ المُسْلِمِيْنَ أَتَوْا رَسُوْلَ اللهِ e فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالدَّرَجَاتِ العُلَى وَالنَّعِيْمِ المُقِيْمِ، قَالَ : وَمَا ذَاكَ ؟ قَالُوْا : يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ وَلاَ نَتَصَدَّقُ، وَيُعْتِقُوْنَ وَلاَ نُعْتِقُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ e : أَفَلاَ أُعَلِّمُكُمْ شَيْئاً تُدْرِكُوْنَ مَنْ سَبَقَكُمْ، وَتَسْبِقُوْنَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ، وَلاَ يَكُوْنُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلاَّ مَنْ صَنَعَ كَمَا صَنَعْتُمْ ؟! قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : تُسَبِّحُوْنَ وَتُكَبِّرُوْنَ وَتَحْمَدُوْنَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ مَرَّةً...

قَالَ أَبُوْ صَالِحٍ : فَرَجَعَ فُقَرَاءُ المُهَاجِرِيْنَ فَقَالُوْا : سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوْا مِثْلَهُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ e : ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ.))(1).

Dari Sumayyin maula Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dari Abu Shalih As-Samman dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :

“Bahwa kaum fuqara’ muslimin mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, kemudian mereka berkata : Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal (di syurga).

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bertanya : “Mengapa demikian ?”

Mereka menjawab : “Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, mereka bisa bersedekah sementara kami tidak bisa dan mereka bisa memerdekakan budak sementara kami tidak bisa”.

Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Bukankah saya ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian dapat menyamai orang-orang sebelum kalian dan kalian mendahului orang-orang setelah kalian serta tidak ada seorang-pun yang lenih utama dari kalian kecuali dia melakukan apa yang kalian lakukan ?!”

Mereka menjawab : “Betul wahai Rasulullah”.

Rasulullah bersabda : “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap selesai shalat 33 kali…”.

Abu Shalih berkata : Kemudian kaum fuqara’ Muhajirin kembali, lalu berkata : “Saudara-saudara kami orang-orang kaya mendengar apa yang kami lakukan, kemudian mereka melakukan hal serupa”.

Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Itulah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”.

Ash-Shan’ani berkata di dalam Al Uddah :

“Dia berkata : Barangsiapa mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar, maka kami memiliki dalil-dalil yang sangat banyak dan kata-kata baik yang menyeluruh :

Pertama : Bahwa Allah memuji di dalam kitab-Nya berbagai amal perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang kaya, seperti :

- zakat,

- menafkahkan harta di dalam berbagai amal kebajikan,

- jihad fi sabilillah,

- membekali para pejuang,

- memperhatikan orang-orang yang membutuhkan,

- membebaskan budak,

- memberikan bantuan di masa paceklik.

Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan kebahagiaan orang yang terdesak kebutuhan yang bisa membinasakan dirinya (setelah mendapatkan nafkah dari si kaya) ?

Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan manfaat yang diberikan oleh si kaya dengan hartanya untuk menolong agama Allah, meninggikan kalimatullah dan mematahkan musuh-musuh-Nya ?

Dimana letak kesabaran ahlus-Shuffah (para Shahabat yang fakir yang tinggal di serambi masjid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ) dibanding dengan nafkah Utsman radhiallahu ‘anhu untuk memenuhi berbagai kebutuhan, sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :


((مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ اليَوْمِ)).

Artinya : “Tidak ada yang membahayakan Utsman, apa yang dia lakukan setelah hari ini”.

Mereka berkata : Orang-orang kaya yang bersyukur merupakan sebab ketaatan kaum fuqara yang bersabar, dengan memberikan bantuan sedekah kepada mereka, berbuat baik kepada mereka dan memperhatikan ketaatan mereka. Maka mereka mendapatkan bagian yang besar dari pahala-pahala kaum fuqara’ ditambah dengan pahala mereka sendiri dengan memberikan nafkah (kepada kaum fuqara’) dan ketaatan mereka. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dari hadits Salman radhiallahu ‘anhu secara marfu’ :


((مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ)).

Artinya : “Barangsiapa yang memberikan ifthar kepada yang berpuasa, maka yang demikian itu adalah penghapus dosa-dosanya dan pembebas dirinya dari neraka dan dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang diberi ifthar tanpa mengurangi sedikit-pun pahalanya.

Si kaya yang bersyukur ini mendapatkan pahala seperti pahala yang didapat oleh si fakir dengan jamuan yang diberikan kepadanya.

Mereka berkata : Keutamaan-keutamaan bersedekah telah diketahui besarnya dan manfaatnya tidak terhitung jumlahnya. Dan inilah diantara buah si kaya yang bersyukur”. Selesai dari Al Uddah 3/88 karya Ash-Shan’ani dengan sedikit perubahan.

Ini adalah kesimpulan dari hujjah yang digunakan oleh kedua kubu. Dan jelaslah dari yang telah kami paparkan, keunggulan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar. Dimaklumi bahwa tidak ada tempat bagi orang fakir yang tidak bersabar dan orang kaya yang tidak bersyukur di dalam perbandingan keutamaan disini. Selesai.



Abu Abdillah Muhammad Yahya

18 Dzulqa’dah 1428 H/26 November 2007 M

Nijamiyah-Shamithah-Jazan

KSA

(1)أخرجه البخاري في كتاب الصلاة باب : الذكر عقب الصلاة ، رقم الحديث (843) بدون قوله : "فرجع فقراء المهاجرين" . وأخرجه أيضاً في الدعوات باب : الدعاء بعد الصلاة ، رقم الحديث (6329) إلا أنه قَالَ : تسبحون في دبر كل صلاة عشرا وتحمدون عشرا وتكبرون عشرا

Aduh Lewat !!!

Alangkah bahagianya seorang hamba tatkala manusia disibukkan dengan urusan dunia, dia


mampu membasahi anggota wudhunya. Kemudian dengan pakaiannya yang indah dia


ayunkan langkahnya untuk memenuhi panggilan Tuhannya. Bersama orang-orang yang


mengharapkan perjumpaan dengan Allah, dia hadapkan wajahnya kepada Dzat


yang telah menciptakannya. Di rumah Allah dia bermunajat dalam rukuk dan sujudnya yang panjang.





Alangkah indah hidup seorang hamba ketika manusia terlena dengan buaian kursi dan kasur


empuk, dia mampu terjaga sambil membasahi lisannya dengan dzikrullah. Dia selalu menjaga shalat berjama’ahnya di rumah Allah. Dia rapatkan dan luruskan shafnya, menaikkan sarungnya di atas mata kaki, karena dia tahu hukumnya.





Bukankah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana seorang muslim berpakaian? Termasuk bagaimana seorang berpakaian jika hendak melaksanakan shalat.





Abdullah bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata, bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,





لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى صَلَاةِ رَجُلٍ يَجُرُّ إِزَارَهُ


بَطَرًا





"Allah tidak melihat shalat orang yang menarik pakaiannya dengan sombong". [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (781)]





Ini adalah ancaman yang amat keras bagi orang yang meleretkan dan melabuhkan celana atau pakaiannya melebihi kedua mata kakinya. Dia tak akan dipandang oleh Allah, kecuali dengan pandangan murka. Bahkan sebelumnya ketika masih dalam kehidupan dunia ini mereka tidak diberi penjagaan dan perhatian oleh Allah akibat besarnya dosa yang mereka perbuat.





Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Saya telah mendengar Rasulullah -Shollallahu


‘alaihi wasallam- bersabda,





مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِيْ صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ


مِنَ اللهِ جَلَّ ذِكْرُهُ فِيْ حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ





"Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya melebihi mata kakinya ketika shalat dengan


sombong, maka dia tidaklah tergolong dalam kehalalan dan keharaman Allah." [HR. Abu Dawud (637). Hadits ini di-shohih-kan oleh


Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (6012)]





Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Maksudnya: Allah tidak memberikan kebaikan terhadap perbuatannya yang halal dan sikapnya yang telah menjauhi yang haram. Maka kehormatan dirinya telah jatuh di hadapan Allah. Dan Allah tidak akan melihatnya, serta tidak ada yang bisa diambil ibrah dengannya dan tidak pula dengan perbuatannya. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal.34)]





Muhaddits Negeri India, Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy-rahimahullah- berkata, "Dia tidak termasuk dalam golongan orang yang dibebaskan dosa-dosanya." Maknanya: Sesungguhnya Allah tidak mengampuninya. Allah juga tak akan mencegahnya perbuatan-perbuatannya yang jelek. Allah tak akan memberikannya surga, dan tak pula mencegahnya dari neraka. Dia tidak melakukan perbuatan halal, dan dia tidak memiliki kehormatan di sisi Allah -Ta’ala-".[Lihat Aunul Ma’bud (2/240)]





Ada pula yang mengatakan, "Dia tidak termasuk bagian dari agama Allah sedikitpun." Artinya: Sesungguhnya dia telah berlepas diri dari Allah dan dia telah menyelisihi agama-Nya.[Lihat Badzlul Majhud (4/297), Faidhul Qodhir (6/52), dan Al-Majmu’ (3/177)]





Jadi, hadits itu menunjukkan haramnya menurunkan pakaian hingga menutupi kedua mata kaki dalam shalat, jika bertujuan sombong. Namun jangan dipahami bahwa isbal (melabuhkan celana di bawah mata kaki), jika tak sombong, maka tak mengapa, atau jika di luar sholat, maka tak mengapa. Ini adalah pemahaman yang keliru, sebab hadits lain menunjukkan bahwa isbal sekalipun tak sombong, maka tetap diberi ancaman oleh Allah dan Rasul-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana nanti –Insya’Allah- akan kami bahas pada edisi mendatang


tentang masalah ini lebih rinci. Isbal secara muthlaq haram hukumnya, baik sombong atau tidak; baik dalam sholat atau di luar sholat !!





Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- berkata, "Sungguh telah kami isyaratkan tentang haramnya isbal, sama saja apakah karena sombong atau tidak, pada kesalahan yang lalu. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya bukan karena sombong, maka perbuatannya tersebut adalah wasilah (pengantar) menuju hal itu (yakni, kesombongan)". [Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’ Al-Mushollin (hal.34), bagian footnote (3)]





Ibnu QoyyimAl-Jauziyyah telah berkata ketika men-syarah hadits yang berkaitan dengan isbal, "Sisi makna hadits ini –wallahu a’lam: "Sesungguhnya isbal (menurunkan pakaian di bawah matakaki) adalah perbuatan maksiat”.[Lihat At-Tahdzib ala Sunan Abi Dawud (6/50)]





Yang perlu diingat disini, bahwa larangan dan pengharaman isbal, bukan hanya pada sarung, bahkan mencakup celana, sorban, jubah, dan lainnya. Ini perlu kami jelaskan, karena ada sebagian orang menyangka bahwa larangan isbal cuma pada sarung, tanpa yang lainnya.





Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah- berkata, "Panjangnya gamis, celana sirwal, dan seluruh pakaian, jika terlampau panjang, maka seorang tak boleh membuatnya lewat di bawah mata kaki sebagaimana yang telah dicantumkan oleh hadits-hadits yang ada dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Isbal itu terdapat pada celana sirwal, sarung, dan gamis". Maksudnya, beliau melarang dari isbal".[LihatMajmu’ Al-Fatawa (22/144)]





Untuk itu, wajib bagi orang yang mau shalat untuk "memperhatikan pakaiannya ketika mengendor dengan menaikkannya. Sehingga ia tidak digolongkan sebagai orang yang menyeret pakaian karena kesombongan, sebab dia tidak sengaja menurunkannya. Terkadang pakaian itu hanya mengendor, lalu ia naikkan pakaian


tersebut dan memperhatikannya. Tak ragu lagi bahwa orang seperti ini dimaafkan.


Adapun orang yang sengaja menurunkan pakaian, baik yang berupa bisytan,


celana atau gamis, maka masuk dalam ancaman tersebut serta tidak ada maaf bagi


yang menurunkan pakaian seperti ini. Sebab hadits-hadits shahih yang melarang isbal mencakup yang terucap, baik makna dan tujuan-tujuannya.


Maka setiap muslim wajib waspada terhadap isbal dan bertakwa kepada Allah dalam perkara ini. Yakni agar ia tidak menurunkan pakaian melebihi mata kakinya, dalam rangka mengamalkan hadits-hadits shahih tersebut, serta waspada dari kemarahan dan siksaan Allah. Allahlah yang memiliki taufik.". [Lihat MajalahAd-Da’wah (edisi 920), dan Majmu’Fatawa Syaikh bin Baz


(219)]





Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz– rahimahullah - tentang Imam yang Mubtadi’ (Ahli Bid’ah) dan Orang yang Menurunkan Sarung Melebihi Mata Kakinya





Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- telah ditanya, "Apakah sah shalat di belakang seorang ahli bid’ah dan orang yang menurunkan sarung melebihi mata kakinya?"





Beliau menjawab, "Ya (sah). Shalat di belakang ahli bid’ah dan di belakang orang yang menurunkan sarungnya (musbil) atau orang-orang yang bermaksiat lainnya adalah sah. Demikian salah satu dari dua pendapat yang kuat. Selama bid’ah tersebut tidak mengkafirkan orangnya. Jika bid’ahnya itu mengkafirkan orangnya, seperti Jahmiyyah atau sejenisnya dari orang-orang yang bid’ahnya mengeluarkan mereka dari lingkup Islam, maka shalatnya tidak sah.





Oleh sebab itu orang-orang yang diberi tanggung-jawab memilih imam, hendaklah mereka


memilih imam seorang yang selamat dari kebid’ahan dan kefasikan, serta perilakunya diridhoi. Karena keimaman adalah amanat yang sangat agung dan seorang imam merupakan teladan bagi kaum muslimin. Maka tidak boleh menyerahkannya kepada ahlul bid’ah atau orang fasik, dalam keadaan mampu menyerahkan kepada selain mereka.





Sedangkan isbal merupakan bagian dari sejumlah kemaksiatan yang harus ditinggalkan dan


diwaspadai, karena sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- :


مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِيْ


النَّارِ


"Sarung yang ada di bawah mata kaki tempatnya di neraka". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (5887), dan An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (5331)]





Pakaian selain sarung (izar), seperti gamis, celana bisytu, dan sejenisnya, hukumnya sama seperti hukum sarung (izar). Sesungguhnya ada riwayat yang shahih dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , bahwasanya beliau bersabda,





ثَلَاَثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


الْمَنَّانُ الَّذِيْ لَا يُعْطِيْ شَيْئًا إِلَّا مِنَّةً وَالْمُنْفِقُ


سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْفَاجِرِ وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ





"Tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah, Dia tidak melihat mereka di hari kiamat dan Dia tidak menyucikan mereka, serta mendapat adzab yang sangat pedih: Orang yang menurunkan pakaiannya (melewati mata kaki) dan orang yang mengungkit-ungkit (pemeberian), yaitu orang yang tidak memberikan sesuatu, kecuali diungkit-ungkit; dan menginfakkan barangnya dengan sumpah yang dusta". [HR. Muslim dalam Shohih-nya(106),


Abu Dawud dalam Sunan-nya (4087), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (1211), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (2564), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (2208)]





Jika menyeret (menurunkan) sarung itu karena sombong, maka yang demikian itu dosanya


lebih besar dan lebih dekat kepada siksaan yang segera, karena sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,





مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ


يَوْمَ الْقِيَامَةِ





"Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak melihatnya di hari kiamat". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3465), Muslim dalam Shohih-nya (2085), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4085 & 3465), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (5334 & 5335)dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3576)]





Maka wajib bagi setiap muslim agar waspada terhadap segala yang diharamkan oleh Allah atasnya berupa isbal dan lainnya". [Lihat Majalah Ad-Da’wah (edisi 913)]





Sesungguhnya perkara ini sangatlah menyedihkan kita dan setiap orang yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya, yang memiliki kemauan besar untuk kebahagiaan umatnya.





Tatkala kita melihat laki-laki dan perempuan yang ada di hadapan kita menyelisihi dalil-dali ini. Kita lihat laki-laki dalam keadaan menurunkan pakaiannya, sambil menyeret ujung dan tepi pakaiannya di atas tanah. Sedangkan para wanita tidak menutup bagian atas badannya. Para wanita tersebut memendekkan pakaian mereka, sehingga tampaklah kepala, leher, dan dada mereka. Kemudian mereka berjalan di jalan-jalan dalam keadaan memakai wewangian, berhias dan membuka auratnya. Mereka berpakaian tetapi telanjang, dan berjalan sambil melenggang. Mereka tampakkan perhiasan-perhiasan mereka dan postur tubuh mereka di tempat yang terlihat oleh manusia yang dekat maupun jauh. Tidak ada upaya dan kekuatan, kecuali dari Allah.





Sumber :


Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 56 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu,


Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). PimpinanRedaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa.Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.

AL-QUR’AN PENYEJUK QOLBU

Ketahuilah, Al-Qur’an itu mengandung obat segala penyakit qolbu (hati). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Wahai manusia, telah datang kepada kalian mauidzhoh (pelajaran) dari Rabb kalian, dan penyembuh apa yang ada dalam hati.” (QS. Yunus : 57).

“ Dan kami turunkan dari Al-Qur’an ini sesuatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang mu’min.” (QS. Al-Isro’ : 82).

Segala penyakit qolbu itu bermuara pada syubhat (kesamaran pemahaman, ed.) dan syahwat (hawa nafsu), dan Al-Qur’an adalah dapat menyembuhkan keduanya.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa Al-Qur’an mencakup obat dan rahmat. Dan itu bukan untuk setiap orang, tetapi hanya untuk orang-orang yang beriman (mu’min) yang beriman dengan Al-Qur’an, membenarkan ayat-ayat-Nya dan mengetahui makna-maknanya.

Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan atau mengamalkannya, maka ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak menambah kepada mereka kecuali kerugian….Maka penyembuhan Al-Qur’an itu mencakup penyembuhan Qolbu dari syubhat, kebodohan, pemikiran-pemikiran yang rusak, penyelewengan dan maksud-maksud (keinginan) yang jelek….Juga mencakup kesembuhan jasmani dari berbagai penyakit.” (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 465).

Penyakit Syubhat atau kerancuan pemikiran, keragu-raguan terhadap ajaran Islam, ataupun munculnya ajaran-ajaran sesat yang menyelinap dalam qolbu seseorang, tentu menimbulkan sakit walaupun terkadang tidak dirasakan oleh yang bersangkutan. Penyakit subhat ini akan mengakibatkan rusaknya ilmu, penilaian dan pemahaman, sehingga seseorang tidak dapat menilai sesuatu sesuai dengan hakekatnya.

Itu semua dapat disembuhkan dengan Al-Qur’an karena di dalamnya terdapat keterangan dan bukti-bukti nyata lagi pasti. Al-Qur’an menerangkan tauhid, menetapkan adanya hari kebangkitan, dan adanya kenabian, serta membantah pendapat-pendapat yang sesat dan ajaran yang menyimpang.

Al-Qur’an menerangkan semua itu dengan sebaik-baik keterangan, menjelaskannya dengan sejelas-jelas penjelasan, sangat bagus dan indah tiada yang menandingi, mudah di pahami dan di cerna oleh akal. Al-Qur’an merupakan obat hakiki untuk menyembuhkan penyakit-penyakit qolbu.

Sebagai contoh pengalaman seorang pakar filsafat yaitu Al-Fahrurrozi, yang telah mencapai tingkatan paling tinggi di masanya dalam ilmu filsafat. Namun filsafat ternyata sebuah penyakit ganas pada qolbu seseorang yang hanya menimbulkan keraguan pada I’tiqad (keyakinan) seorang muslim lalu menimbulkan kegelisahan pada qolbunya sebagaimana dikatakan bahwa “akhir keadaan ahli filsafat adalah keraguan”.

Ia menyatakan dengan penuh kesadaran : “Saya perhatikan teori-teori ilmu kalam dan metodologi filsafat, saya nilai tidak mampu mengobati orang sakit dan menghilangkan dahaga. Saya melihat jalan yang paling dekat adalah jalan Al-Qur’an ….Dan barang siapa yang mencoba seperti percobaanku, maka ia akan mengetahui sebagaimana yang aku ketahui.”

Penyembuhan dengan Al-Qur’an tergantung pada pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri dan pengetahuan terhadap makna-maknanya. Orang yang Allah beri pemahaman, mata hatinya akan melihat yang haq dan yang bathil dengan begitu jelas sebagaimana ia melihat perbedaan siang dan malam.

Adapun penyakit qalbu berupa syahwat dan keinginan hawa nafsu, niat-niat yang rusak, iri, dengki, tamak dan sebagainya. Al-Qur’anpun penuh dengan obat penyakit ini karena di dalamnya terkandung mutiara-mutiara hikmah, nasehat-nasehat yang indah, memberi semangat untuk kebaikan, mengancam dari perbuatan jelek dan mengajak untuk juhud. Al-Qur’an memberikan perumpamaan dan kisah-kisah yang menyiratkan berbagai ibrah (pelajaran) sehingga membuat qolbu mencintai kebenaran dan membenci kesesatan, selalu memiliki keinginan kepada yang baik dan kembali kepada fitrahnya yang suci.

Dengan qolbu yang seperti itu, maka perbuatannya menjadi baik dan dia tidak menerima kecuali yang haq, bagaikan seorang bayi, tidak menerima makanan selain susu. Qolbunya mendapat gizi keimanan dari Al-Qur’an, sehingga menguatkan dan menumbuhkannya, menyenangkan dan membuatnya giat, sehingga menjadikannya semakin kokoh.

Qolbu membutuhkan segala sesuatu yang memberinya manfaat dan melindunginya dari mudharat (bahaya) sebagaimana jasmani membutuhkan segala sesuatu yang memberinya manfaat dan melindunginya dari mudharat. Dengan itu ia akan berkembang menuju kesempurnaan. Tiada jalan menuju kepada kesempurnaan qolbu kecuali dengan Al-Qur’an. Kalaupun ada jalan yang lain, maka itu sangat sedikit dan tidak akan mencapai kesempurnaan.
Wallahu a’lam.

Diringkas dari tulisan Al-Imam Ibnul Qoyyim

Anugerah yang Terzholimi

Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disempurnakan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sebagai rahmat bagi seluruh hamba-Nya, sehingga agama ini tidak butuh tambahan, pengurangan dan otak-atik.


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Ma`idah: 3)

Di antara rahmat Allah -Ta’ala- kepada hamba hamba-Nya, disyari’atkannya “poligami” (seorang laki laki memiliki lebih dari satu istri) berdasarkan dalil-dalil yang akan datang.

Namun berbicara masalah poligami akan mengundang berbagai tanggapan. Ada yang menanggapinya secara posotif dan ini datangnya dari ulama’ dan kaum beriman. Tetapi, ada pula yang menanggapinya secara negatif, bahkan menentangnya dengan keras di antara segelintir orang dari kalangan orang-orang munafiq, dan orang-orang yang jahil dari kaum wanita dan laki-laki. Berbagai alasan dilontarkan intuk menolak poligami, entah dengan alasan kecemburuan, emosi, atau tidak siap dimadu, bahkan dengan alasan ketidakadilan.

Mungkin dengan dasar inilah, ada seorang penulis wanita (kami tidak sebutkan namanya) berusaha menentang, dan menzholimi “anugerah poligami” ini untuk membela kaum wanita -menurut sangkaannya-, padahal sebenarnya ia menzholimi kaum wanita. Maka dia pun menuangkan “pembelaannya” (baca: penzholimannya) tersebut dalam bentuk tulisan yang dimuat oleh koran “Kompas”, edisi 11 Desember 2006, dengan judul, “Wabah itu Bernama Poligami”. Sebuah judul yang memukau bagi orang-orang jahil, terlebih lagi orang-orang munafiq. Namun hal itu sangat berbahaya bagi keimanannya, dan mengerikan bagi kaum beriman. Betapa tidak, dia telah berani menyebut poligami sebagai “wabah”, dan telah lancang berani menyebut syari’at yang Allah -Ta’ala- sendiri yang menurunkan-Nya sebagai “wabah”. Dia telah menghina, menentang dan mengingkari anugerah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Kalau wanita ini menganggap poligami adalah wabah, berarti dia telah menganggap bahwa Allah -Ta’ala- telah menurunkan wabah kepada para hamba-Nya,“Subhanallah wa -Ta’ala- ‘an qaulihim uluwwan kabiran !!!” Maha Suci, dan Maha Tinggi Allah atas apa yang mereka ucapkan.

Wanita untuk memuntahkan kebenciannya, dan penolakannya kepada syari’at poligami, maka ia pun tidak tanggung-tanggung membawakan hadits untuk menguatkan pendapatnya. Padahal hadits itu tidaklah menguatkan dirinya sedikitpun, bahkan menolak dengan kejahilannya: Wanita itu membawakan hadits, bahwa dilaporkan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- marah ketika beliau mendengar putrinya Fatimah akan di poligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju mesjid, naik mimbar dan menyampaikan pidato, “Keluarga Bani Hasim bin Al-Mughiroh telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Bin Abi Thalib saya tidak mengizinkan sama sekali kecuali Ali menceraikan putri Saya terlebih dahulu”. Kemudian Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan, “Fatimah adalah bagian dari-ku. Apa yang memggamggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat.

Setelah membaca hadits diatas, mungkin kita akan menganggukkan kepala dan membenarkan wanita tersebut. Namun Saking “pandainya” wanita ini, ia lupa riwayat lain dalam Shohih Muslim (2449), “Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami. Selain itu, Syaikh Al-Adawiy dalam Fiqh Ta’addud Az-Zaujat (126) berkata, “Di antara kekhususan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, putrinya tidak boleh dimadu. Ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/329)”.

Perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho’il Ash-Shohabah (no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bukan bersifat kondisional !!

Lebih jauh lagi, Wanita itu mengomentari ayat berikut,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa`: 3)

Wanita ini berkata, “Ayat tersebut turun setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda, atau anak yatim, jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka, dan hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional”.

Yang menjadi pembahasan kita dalam perkataannya adalah bahwa ayat ini bersifat kondisional, padahal seandainya ayat ini bersifat kondisional, justru ayat ini sangat memungkinkan untuk diamalkan pada zaman sekarang, karena melihat perbandingan jumlah wanita jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Oleh karena itu, poligami di saat sekarang ini mestinya lebih disemarakkan! Selain itu, para ulama membuat kaedah, “Barometer dalam menafsirkan ayat dilihat pada keumuman lafazhnya, bukan pada kekhususan sebab turunnya ayat tertentu”. Jadi, dilihat cakupan dan keumuman ayat di atas dan lainnya, maka mencakup semua lelaki yang memiliki kemampuan lahiriah.

Kemudian, dia pun mengomentari firman Allah berikut -layaknya sebagai ahli tafsir, padahal ia bukan termasuk darinya-,

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa`: 129)

Wanita ini berkata dengan congkak, “Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya agama monogami”. Pembaca -semoga dirahmati Allah- beginilah apabila menafsirkan ayat dengan penafsiran sendiri, tanpa mau melihat bagaimana para ulama tafsir ketika menafsirkan ayat-ayat Allah. Ayat ini justru menunjukan disyari’atkannya poligami. Dengarkan para ahli tafsir ketika mereka menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129)

Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata, “Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian”. [Lihat Jami’ Al-Bayan (9/284)]

Syaikh Muhammad bin Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- memaafkan perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta’ala- melarang sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain, tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib-pent),

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. (QS. An-Nisa`: 129)

Maksudnya, janganlah engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada batas kemampauan kalian berupa keadilan. Maka memberi nafkah, pakaian, pembagian dan semisalnya, wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara istri-istri dalam hal tersebut, lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak (bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi memiliki suami yang menunaikan hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 207)]

Lebih gamblang, seorang mufassir ulung, Syaikh Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata dalam Adhwa’ Al-Bayan (1/375) ketika menafsirkan ayat di atas, “Keadilan ini yang disebutkan oleh Allah disini bahwa ia tak mampu dilakukan adalah keadilan dalan cinta, dan kecenderungan secara tabi’at, karena hal itu bukan di bawah kemampaun manusia. Lain halnya dengan keadilan dalam hak-hak yang syar’iy, maka sesuangguhnya itu mampu dilakukan”.

Jadi, dari komentar para ahli tafsir tadi, tidak ada di antara mereka yang berdalil dengan ayat itu untuk menolak poligami. Lantas kenapa wanita ini tak mau menoleh ucapan para ulama’ tafsir? Jawabnya, karena tafsiran mereka tidak tunduk kepada hawa nafsu wanita ini.

Adapun dalil dalil yang menunjukan disyariatkannya poligami antara lain, maka telah berlalu dalam (QS. An-Nisa`: 3).

Di antara dalil poligami, Seorang tabi’in, Sa’id bin Jubair, “Ibnu Abbbas berkata kepadaku: “Apakah engkau telah menikah ?” Aku menjawab “ Belum”. Ibnu Abbas berkata, “Maka menikahlah, karena sebaik baik manusia pada umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya”. [HR. Al-Bukhariydalam Shohih-nya).

Satu lagi dalil poligami -namun sebenarnya masih banyak-, Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Termasuk sunnah jika seorang laki laki menikahi perawan setellah istri sebelumnya janda maka sang suami pun tinggal di rumah istri yang perawan ini selama tujuh hari maka sang suami tinggal dirumah istri yang janda selama tiga hari kemudian dia bagi”. [HR Bukhariy dalam Ash-Shohih]

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- dalam Fatul Bari (9/10) berkata, “Dalam hadits ini, ada anjuran untuk menikah dan meninggalkan hidup membujang”.

Setelah kita mengetahui dalil-dalil yang menunjukan disyari’atkannya seorang muslim, laki-laki maupun wanita melakukan poligami. Jadi, kami nasihatkan kepada diri kami dan para suami dan calon suami untuk menikah hingga empat orang istri, jika dia sanggup untuk berbuat adil dalam perkara lahirah, seperti, pembagian malam, dan nafkah. Adapun adil dalam perkara batin (seperti, cinta, kesenangan jimak, perasaan bahagia bersama dengan salah satu diantara mereka), maka ini bukan merupakan syarat berdasarkan hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.

Terakhir, Kami nasihatkan kepada para wanita agar bersiap untuk dimadu dan berlapang dada untuk menerima anugerah poligami ini, serta tidak menentang syari’at poligami, karena ini adalah kekufuran. Samahatusy Syaikh Abdul Azizi bin Baz-rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang membenci sedikitpun dari sesuatu yang dibawa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, meskipun dia mengamalkannya, maka sungguh dia telah kafir. Allah -Ta’ala- berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (QS. Muhammad: 9)[Lihat Nawaqid Al-Islam]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 07 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

Adakah Bom Syahid Dalam Islam ?

Bom Syahid, Adakah Dalam Islam ?

Judul di atas adalah salah satu pembahasan dalam buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra, di mana penulis bertutur setelahnya, “Tulisan ini bukan makalah, tetapi sekadar tanggapan terhadap beberapa komentar berkaitan bom syahid. Ada yang menganggap bahwa urusan ini masih ikhtilaf, ada yang berpendapat bahwa hal ini adalah masyru’. Ada yang mengatakan bid’ah, bahkan –ini pendapat yang paling naif- ada yang mengatakan haram dan menganggapnya sebagai bunuh diri alias konyol.” [1]

Kemudian penulis menjelaskan, “Yusuf Qardhawi membolehkan untuk situasi seperti di Palestina. Sementara Dr. Nawaf Hail At-Takrary tidak membatasi hanya untuk Palestina. Ja’far Umar Thalib menganggap bom syahid (istisyhâd) WTC sebagai bid’ah. Sebagian mufti Saudi Arabia yang dapat dipastikan sebagai qâ’idûn (tidak berjihad) ada yang menganggap haram, diikuti segelintir salafy irja’i di Indonesia yang juga menganggap haram. Syaikh Al-AlBany berpendapat, “tergantung keputusan amir.” Bingung?......” [2]

Kemudian halaman-halaman berikutnya, penulis menyebutkan dalil-dalil yang ia pegang dalam masalah ini dan menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa operasi jibaku yang kini lebih dikenal dengan istilah istimata (mencari mati) atau istisyhâd (mencari syahid) adalah masyru’ (disyari’atkan). Bahkan menurut Imam Ibnu Nuhas rahimahullah, sangat dianjurkan.” [3]

Dan di sela-sela bantahannya terhadap Yusuf Al-Qaradhawy penulis menyatakan keberlakuan bom syahid secara umum, “Pembatasan bom syahid hanya boleh di Palestina, atau semisal, menunjukkan bahwa Yusuf Qardhawi kurang memahami atau menyadari hakekat Perang Salib yang bersifat global. Di mana, dalam keadaan umat Islam terjajah, setiap jengkal tanah di bumi ini dapat dikatakan sebagai tempat konflik. Dengan sendirinya segala syari’at perang dalam Islam dapat diaplikasikan sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan yang ada.” [4]

Tanggapan :
Tidak perlu bingung menghadapi masalah ini. Kita bersyukur kepada Allah yang telah menyempurnakan agama sehingga siapa yang berjalan di atas tuntunan yang benar dan lurus; Al-Qur`ân dan As-Sunnah, maka akan jelas baginya masalah ini. Dan hal ini sangat nampak pada para ulama kita di masa ini, tidak ada yang samar bagi mereka dalam hal ini, dan fatwa-fatwa mereka yang kami akan sebutkan menggambarkan kedalaman ilmu agama mereka dari sumber yang sama; Al-Qur`ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf.

Perlu diketahui bahwa keadaan seorang dari pasukan kaum muslimin yang sengaja terjun ke tengah barisan musuh yang sangat banyak, dan memerangi mereka dengan seorang diri adalah hal telah dibahas oleh para ulama kita dalam buku-buku fiqih.
Berikut ini keterangan-keterangan para ulama dalam masalah ini,
Berkata An-Nawawy rahimahullâh, “Pada hadits, bolehnya inghimâs (jibaku) di tengah kaum kuffar dan sengaja menghadapi mereka guna mendapatkan kesyahidan. Hal tersebut adalah boleh, tidaklah makruh menurut kebanyakan ulama.” [5]
Berkata Ibnu ‘Abidin, “Tidak apa-apa seorang dengan sendirinya menyerang musuh –walaupun ia menyangka dirinya akan terbunuh- bila ia melakukan sesuatu berupa membunuh, melukai dan mengalahkan (musuh). Telah dinukil hal tersebut dari sekelompok shahabat di depan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam pada perang Uhud dan beliau memuji mereka akan hal tersebut. Adapun bila ia mengetahui bahwa hal tersebut tidak membuat nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap (musuh) maka tidaklah halal baginya untuk menyerang mereka, karena tidaklah tercapai dengan penyerangan itu suatu kejayaan agama.” [6]
Berkata Abu Hâmid Al-Ghazâly (w. 505 H), “Tidak ada perbedaan (di kalangan ulama) bahwa seorang muslim yang sendiri boleh untuk menyerang barisan kaum kuffar dan memerangi (mereka) walaupun ia mengetahui ia akan terbunuh, sebagaimana juga dibolehkan untuk memerangi orang-orang kafir hingga ia terbunuh, hal tersebut termasuk amar ma’rûf nahi mungkar. Akan tetapi bila ia mengetahui bahwa tidak ada nikâyah terhadap kaum kuffar dengan serangannya, seperti orang buta yang melemparkan dirinya di tengah barisan (kuffar), atau orang yang lemah, maka hal tersebut adalah haram, masuk dalam keumuman ayat kehancuran [7]. Hal tersebut hanyalah boleh dilaksanakan bila ia mengetahui bahwa ia tidak akan terbunuh hingga ia membunuh, atau ia mengetahui bahwa hati-hati musuh akan patah menyaksikan keberaniannya dan mereka akan meyakini pada seluruh kaum muslimin tidak peduli (mati) lagi dan mereka cinta mati syahid di jalan Allah sehingga patah kekuatan (kuffar) dengan hal tersebut.” [8]
Dan As-Sarkhasy dari ulama Hanafiyah berkata, “Andaikata seseorang menyerang jumlah besar dari kaum musyrikin, bila ia mengetahui bahwa ia akan menghantam sebagian mereka dan membuat nikâyah pada mereka, maka tidak mengapa dengan hal tersebut. Dan bila ia mengetahui bahwa ia ada nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap mereka, maka tidak pantas ia melakukan hal tersebut.” [9]
Dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibâny (w. 189 H) mengatakan, “Andaikata seorang lelaki menyerang seribu orang dan dia sendiri, maka tidak mengapa dengan hal tersebut bila tamak untuk selamat dan ada nikâyah (untuk musuh). Apabila ia tidak tamak untuk selamat dan tidak nikâyah (untuk musuh), maka saya menganggap makruh [10] hal tersebut karena ia telah menghadapkan dirinya pada kerugian tanpa ada manfaat bagi kaum muslimin. Sepantasnyalah hal ini dilakukan oleh seorang yang tamak untuk selamat atau memperoleh manfaat bagi kaum muslimin. Apabila ia tidak tamak untuk selamat dan tidak ada nikâyah (terhadap musuh), namun hal tersebut membuat kaum muslimin berani, mereka melakukan semisal dengan apa yang ia lakukan sehingga mereka memerangi dan membuat nikâyah pada musuh, maka tidak mengapa dengan hal tersebut insya Allah. Karena andaikata ia tamak untuk membuat nikâyah pada musuh dan tidak tamak untuk selamat, saya memandang tidak apa-apa ia menyerang mereka. Demikian pula bila ia tamak agar selainnya membuat nikâyah pada musuh lantaran serangannya, maka tidak mengapa dengan hal tersebut dan saya berharap ia mendapatkan pahala. Yang makruh bagi ia adalah bila sama sekali tidak ada sisi manfaat padanya. Dan apabila ia tidak tamak dalam keselamatan dan tidak ada nikâyah, numun hal tersebut membuat musuh takut, maka tidak mengapa dengan hal tersebut, karena ia adalah nikâyah yang paling afdhol dan padanya ada manfaat.” [11]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Karena itu Imam Empat membolehkan seorang muslim berjibaku pada barisan kaum kuffar –walaupun berat dugaan bahwa mereka akan membunuhnya- bila pada hal tersebut ada kemashlahatan bagi kaum muslimin.” [12]
Dan beliau juga berkata, “Disunnahkan berjibaku di tengah musuh untuk (mendapatkan) manfaat bagi kaum muslimin, bila tidak (ada manfaat), maka hal tersebut terlarang dan tergolong dari kebinasaan.” [13]
Berkata Ibnu Al-‘Araby (w. 543 H), “Ada silang pendapat para ulama tentang seorang lelaki yang menceburkan diri dalam peperangan dan menyerang musuh sedang ia sendiri; berkata Al-Qâsim bin Mukhaimarah, Al-Qâsim bin Muhammad dan ‘Abdul Mâlik dari ulama kami (ulama Mâlikiyah, -pen.) bahwa tidak mengapa seorang menyerang pasukan besar sendirian, apabila padanya ada kekuatan dan niatnya ikhlas karena Allah. Kalau ia tidak memiliki kekuatan maka hal tersebut termasuk kebinasaan. Dan ada yang berkata; apabila ia mencari kesyahidan dan ikhlash niatnya maka hendaknya ia menyerang karena maksudnya adalah satu diantara mereka…” [14]
Kemudian Ibnu Al-‘Araby menguatkan akan “bolehnya hal tersebut, karena padanya ada empat sisi,
Satu : Mencari kesyahidan.
Dua : Adanya nikâyah (bagi musuh).
Tiga : Membuat kaum muslimin berani terhadap mereka.
Empat : Melemahkan hati-hati (musuh) ketika melihat bahwa ini adalah perbuatan satu orang, bagaimana bila seluruh mereka?” [15]
Berkata Al-Hâfizh Ibnu Hajar, “Adapun masalah serangan satu orang terhadap musuh dengan jumlah yang banyak, jumhur ulama menegaskan bahwa hal tersebut apabila karena keberaniannya yang luar bisa dan ia menyangka akan menggetarkan musuh, atau akan membuat kaum muslimin semakin berani, atau yang serupa dengannya dari maksud-maksud yang benar, maka hal tersebut adalah perkara yang baik. Adapun kalau semata tanpa perhitungan, maka (hal tersebut) adalah terlarang apalagi bila menyebabkan kelemahan di tengah kaum muslimin. Wallâhu A’lam.” [16]

Bila keterangan-keterangan di atas digandengkan dengan penjelasan-penjelasan yang telah lalu berkaitan dengan jihad, maka akan terpetik darinya kesimpulan bahwa jibaku di tengah barisan musuh disyaratkan beberapa syarat,
Satu : Ikhlas karena Allah, mengharap mati syahid dengannya.
Keluar dari ini, siapa yang melakukan inghimâs (jibaku) tersebut bukan karena Allah, melainkan karena kesempitan hidup, putus asa, frustasi, mengharapkan sanjungan manusia dan sebagainya.
Dua : Pada aksi in-ghimâs itu ada nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap musuh.
Bila aksi inghimâs tersebut tidak memberikan nikâyah kepada musuh, bahkan membuat musuh semakin beringas dan keras terhadap kaum muslimin, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Tiga : Ada mashlahat dan manfaat bagi kaum muslimin.
Bila tidak ada manfaat dan kemashlahatannya maka hal tersebut adalah haram, sebab jiwa seorang muslim terhormat, tidak boleh dikorbankan kecuali dalam hal-hal yang kemashlahatannya dan bernilai besar untuk dirinya, agama dan kaum muslimin.
Menentukan syarat kedua dan ketiga, itu kembali kepada Ahlul Ilmi dan orang-orang yang berkompoten dalam hal tersebut. Dan berangkat dari dua syarat ini, akan datang fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya akan salahnya beberapa aksi yang terjadi di Palestina yang lepas dari dua syarat ini.
Empat : Aksi tersebut hanyalah dalam sebuah jihad yang syar’iy menurut syari’at Islam.
Dan jihad syar’iy terbagi dua; Jihad Hujûm dan Jihad Daf’iy. Pada Jihad Hujûm disyaratkan izin dari pemimpin, dan pada Jihad Daf’iy tidak disyaratkan, namun dengan rincian yang telah berlalu dalam pembahasan jihad.
Lima : Hal tersebut terjadi di daerah perang.
Keluar dari ini, aksi yang dilakukan pada tempat yang aman, apalagi melanggar etika-etika syari’at berkaitan dengan kafir-kafir yang tidak boleh dibunuh dalam syari’at Islam.
Syarat keempat dan kelima ini karena seluruh pembahasan yang disebutkan oleh para ulama berkaitan dengan inghimâs (jibaku) hanyalah dalam rangkaian Jihad dan hanya di front pertempuran.
Enam : Ia masih mengharapkan keselamatan –walaupun kemungkinannya kecil-.
Keluar darinya, siapa yang melakukannya dengan sengaja membunuh dirinya guna membunuh yang lainnya, seperti yang terjadi dalam aksi-aksi yang dinamakan oleh Imam Samudra sebagai “Bom Syahid”. Sebab orang yang melakukannya dari niat awalnya adalah untuk membunuh dirinya, tidak mengharapkan keselamatan.

Dan perlu kami ingatkan di sini, bahwa ada banyak kalangan yang telah menulis pembenaran dalam masalah aksi-aksi bom bunuh diri yang mereka namakan sebagai “Amaliyyât Istisyhâdiyyah (amalan-amalan kesyahidan)”, dan uraian penulis dalam bukunya “Aku Melawan Teroris” adalah ringkasan dari tulisan-tulisan itu . [17]
Dan apa yang kami simpulkan di atas adalah bantahan global terhadap tulisan-tulisan tersebut.

Kemudian berikut ini beberapa catatan untuk penulis terhadap dalil-dalil yang ia bawakan, dan hal ini sekaligus bantahan lebih terperinci untuk tulisan-tulisan yang merupakan rujukan penulis.

Dalil Pertama
“Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushanif-nya [18] mengeluarkan sebuah riwayat, “Salah satu batalyon dari beberapa batalyon kafir dari Timur telah tiba. Seorang lelaki dari kalangan Anshar menyongsong kedatangan mereka. Ia berjibaku menerobos batalyon kafir tersebut dan mengobrak-abrik barisan mereka. Ia kemudian keluar dari barisan yang telah rusak tersebut lalu mengulangi aksi jibakunya dua sampai tiga kali. Peristiwa ini oleh Sa’ad bin Hisyam Al-Anshari, disampaikan kepada Abu Hurairah ra. Menanggapi hal ini, Abu Hurairah membaca ayat, “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya, demi mencari ridha Allah” (Al-Baqarah: 207).” [19]

Tanggapan Dalil Pertama :
Satu : Riwayat di atas, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/216 (cet. Maktabah Ar-Rusyd) dan sanadnya memang shohîh sampai kepada Ibnu Sirin. Namun tidak dijelaskan dari riwayat, apakah Ibnu Sirin berjumpa dengan Sa’ad bin Hisyam atau tidak, dan apakah ia menghadiri peristiwa tersebut atau tidak.
Dua : Aksi jibaku yang tersebut dalam riwayat, tidak ada pendalilan bagi penulis tentang bom syahid yang dia pandang berlaku secara umum. Sebab orang tersebut dalam riwayat tidaklah membunuh dirinya, akan tetapi ia berperang menghadapi musuh dengan segala kemampuan yang ia miliki. Kemudian hal tersebut terjadi di pertemuan dua pasukan; pasukan muslim dan pasukan kafir, berbeda dengan penulis yang membenarkan aksi-aksi peledakan dan bom bunuh diri di tempat yang aman dan tidak ada konflik.
Tiga : Aksi jibaku dalam riwayat di atas sangat jelas mashlahatnya dan memberi nikâyah kepada musuh. Berbeda dengan aksi-aksi bom bunuh diri yang banyak terjadi pada masa ini, tidaklah membuat musuh jera, bahkan justru semakin menambah luka kaum muslimin dan semakin membuka peluang kepada orang-orang kafir untuk menuangkan kemarahan dan kedengkian mereka terhadap kaum muslimin.

Dalil Kedua
“Imam At-Tirmidzy, Abu Daud, Al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur Aslam bin Yazid At-Tujaibi [20] –Abu Imran- katanya; “Kami berada di Romawi. Pasukan Romawi dengan bilangan raksasa menyerang kami. Pasukan muslim dengan jumlah sebanding atau lebih menghadapi mereka. Pasukan dari Mesir dipimpin oleh Uqbah bin Amir. Sedangkan pasukan induk (al-jumu’ah) dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Tiba-tiba seorang prajurit muslim melesat menembus berikade Romawi. Melihat kejadian itu, orang-orang berteriak; “Subhânallah, Ia menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan!”
Tetapi kemudian Abu Ayyub Al-Anshari ra membantah teriakan orang-orang tersebut. Ia berkata, “Wahai kaum muslimin, kalian telah menta’wilkan (memalingkan pengertian) [21] ayat tersebut. Sebenarnya ayat yang kalian maksud itu turun kepada kami golongan Anshar. Saat itu Allah telah memenangkan Islam. Jumlah kaum muslimin sudah banyak pula. Lalu, tanpa sepengetahuan Rasulullâh, secara sembunyi-sembunyi antar kami berkata, “Ekonomi (harta) kita telah terbengkalai, sedangkan Allah telah memenangkan Islam, pengikutnya telah banyak pula. Alangkah baiknya sekiranya kita kembali mengurusi ekonomi dan merehabilitasinya!” Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad saw, “Dan berinfaklah kalian di jalan Allah, dan janganlah kalian menjerumuskan diri dalam kebinasaan” (Al-Baqarah: 195)
Jadi, yang dimaksud dengan kebinasaan adalah “mengurusi masalah ekonomi, memperbaikinya dan meninggalkan perang”. Abu Ayub Al-Anshari ra. tetap bertahan pada posisinya sebagai personal tempur fî-sabîlillâh, sehingga ia disemayamkan di bumi Romawi.” [22]

Tanggapan Dalil Kedua :
Satu : Hadits di atas dikeluarkan oleh Ath-Thoyâlisy no. 599, Abu Dâud no. 2512, At-Tirmidzy no. 2978, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 11028-11029, Ibnu Hibbân sebagaimana dalam Al-Ihsân no. 4711, Al-Hâkim 2/84-85, 2/275, dan Al-Baihaqy 5/45, 9/99. Dishohîhkan oleh Al-Albâny dalam Ash-Shohîhah no. 13 dan Al-Wâdi’iy dalam Ash-Shohîhah Al-Musnad Min Asbâb An-Nuzûl hal. 34.
Dua : Hadits di atas juga tidak ada dalil bagi penulis tentang bolehnya melakukan aksi bunuh diri yang dia sebut sebagai “Bom Syahid”. Telah disebutkan bolehnya melakukan aksi jibaku dengan syarat-syarat yang telah kami uraikan, termasuk riwayat di atas. Pada riwayat tidak nampak bahwa person dari pasukan muslim yang melakukan jibaku tersebut melakukan aksi bunuh diri, tapi yang dia lakukan adalah membuat nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap pasukan musuh dan mengetarkan mereka.
Tiga : Termasuk fiqih yang tidak dipahami oleh mereka yang menulis pembenaran terhadap “Amaliyyât Istisyhâdiyyah (amalan-amalan kesyahidan)”, mereka tidak memperhatikan bahwa peperangan tersebut dalam riwayat di atas dipimpin oleh para shahabat Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan dihadiri oleh generasi terbaik pada umat ini. Bersamaan dengan itu, terjadi kesamaran terhadap sebagian generasi terbaik itu, di mana pada mulanya mereka menganggap aksi jibaku tersebut sebagai membinasakan diri. Kalau yang seperti itu mereka anggap sebagai bentuk membinasakan diri, entah bagaimana sikap mereka bila menyaksikan orang-orang yang terang-terangan melakukan aksi bunuh diri dengan sengaja meledakkan dirinya di tengah-tengah musuh seperti yang dilakukan di zaman ini. Dan akan datang tambahan keterangan dalam hal ini pada fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Ar-Râjihy hafizhohullâh.
Empat : Sebab turunnya ayat dari riwayat di atas memang seperti yang disampaikan oleh Abu Ayyûb Al-Anshôry radhiyallâhu ‘anhu. Namun bukan artinya kandungan ayat hanya terbatas pada makna yang melandasi sebab turunnya ayat saja, bahkan yang menjadi patokan adalah seluruh makna yang tercakup oleh konteks ayat, tidak terbatas pada sebab turunnya saja. Demikian pendapat kebanyakan Ahli Tafsîr.
Asy-Syaukany ketika menafsirkan ayat “Dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”, beliau berkata, “Yang haq adalah bersandar kepada keumuman konteks (ayat), bukan pada kekhususan sebabnya. Maka apa saja yang benar untuk disebut sebagai kehancuran dalam agama atau dunia, maka ia masuk dalam (ayat) ini, demikian pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabary. Dan bentuk (kehancuran) yang masuk dalam ayat adalah seorang lelaki yang menceburkan dirinya dalam peperangan kemudian ia menyerang pasukan dengan ketidakmampuannya untuk lolos dan tidak memberikan pengaruh; pengaruh yang bermanfaat bagi para mujahidin.” [23]

(Ditulis al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain Makassar, sumber dari email sebagai bantahan atas buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra bab Meraih Kemuliaan Melalui Jihad…Bukan Kenistaan hal. 379-419".)

- Bersambung, Insya Allah -

Catatan kaki :

1. Aku Melawan Teroris hal. 171.
2. Aku Melawan Teroris hal. 171.
3. Aku Melawan Teroris hal. 178.
4. Aku Melawan Teroris hal. 184-185.
5. Syarah Muslim 13/46.
6. Hâsyiyah Ibnu Âbidîn 4/303.
7. Maksudnya adalah ayat dalam surah Al-Baqarah ayat 195, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.”
8. Dari Ithâf As-Sâdah Al-Muttaqîn Syarah Ihyâ` Ulûm Ad-Dîn 7/26 karya Az-Zabîdy.
9. Al-Mabsûth 10/76.
10. Kebanyakan ulama terdahulu menggunakan kalimat ‘makruh’ untuk yang haram. Demikian pula kata ‘tidak pantas’ kadang bermakna haram. Dan uraian hal ini masyhur dalam buku-buku Ushul Fiqih.
11. Dinukil dari Ahkâmul Qur’ân 1/327 karya Al-Jashshôs dan beliau menyetujuinya.
12. Majmû’ Al-Fatâwâ 28/540.
13. Sebagaimana dalam Al-Inshôf karya Al-Mardâwy 4/124.
14. Al-Qur`ân 1/116. Dan juga baca Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur`ân 2/363-364 karya Al-Qurthuby
15. Ahkam Al-Qur`ân 1/116.
16. Fathul Bâry 8/185-186.
17. Penulis menyimpan beberapa tulisan tersebut dari internet. Tulisan Rabithah ulama Palestina, tulisan Abu Qatâdah Al-Filisthîny, Abu Muhammad Al-Maqdasy, Salmân Al-‘Audah, Hâmid Al-‘Ali, Sulaiman bin Nâshir Al-‘Ulwân, dan Muhammad bin ‘Abdilah As-Saif.
18. Harusnya Al-Mushannaf!
19.Aku Melawan Teroris hal. 175.
20. Harusnya dibaca At-Tujîbi. Baca Al-Ansâb 1/326 karya As-Sam’âny, Terbitan Daar Ihya` Ath-Turats Al-‘Araby, Bairut/cet. Pertama/1999M-1419H.
21. Ini termasuk kejahilan penulis dalam memahami aqidah yang benar. Ta`wîl dengan makna “memalingkan pengertian” tidaklah dikenal dalam istilah syari’at, bahkan memaknakan Ta`wîl dengan seperti itu merupakan ciri kelompok-kelompok yang sesat dalam bab Asmâ` wa Ash-Shifât. Dalam agama kata Ta`wîl hanya dikenal dengan dua perkara; Ta`wîl bermakna tafsir, dan Ta`wîl bermakna sebuah hakikat yang makna kembali kepadanya. Hal ini diuraikan panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Risalah At-Tadmuriyah dan selainnya. Dan demikian pula diterangkan sejumlah ulama lainnya. Dan kami memohon maaf kepada para pembaca, kesalahan di atas bukanlah salah penerjemahan, melainkan suatu hal yang muncul di atas dasar pemahaman ‘aqîdah sang penulis.
22. Fathul Qadîr 1/297.
23. Aku Melawan Teroris hal. 176.
24. Salman Al-‘Audah dalam tulisannya menyebutkan bahwa kisah jibaku Al-Barâ` diriwayatkan pula oleh Ibnu Mubârak dalam Kitâb Al-Jihâd 1/134. Setelah kami rujuk, ternyata sama dengan sanad yang Ibnu Abdil Barr yang kedua. Namun tidak disebutkan aksi jibaku Al-Barâ`. Maka ini termasuk kesalahan dalam memberikan acuan periwayatan.
25. Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqât 7/16. Disebutkan pula oleh Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 3/291 dan Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lâm An-Nubalâ` 1/196.

Sabtu, 05 September 2009

Akankah Amalku Di Terima ?

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata'ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)

Sumpah Allah Subhanahuwata'ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata'ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.
A
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata'ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal
Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata'ala.
Allah Subhanahuwata'ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Beliau bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah r ) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata'ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396
Allah Subhanahuwata'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.
Wallahu a’lam.

Jumat, 14 Agustus 2009

bisnis online free

Uang Gratis di Internet!
Program ini spesial buat Anda yang ingin mencapai kebebasan finansial sejati hanya dengan merekrut Anggota. Daftar Gratis dan Tanpa Biaya
Gak percaya? pelajari dulu websitenya. Silahkan kunjungi http://www.galesus.com/index.php?id=amb4r

Rabu, 29 Juli 2009

Anjuran melakukan perintah Rasul sesuai kemampuan, menjauhi larangannya dan larangan banyak bertanya

Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : " Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka ". (H.R.Bukhari dan Muslim).
Takhrij Hadits secara global
Hadits dengan lafazh diatas dikeluarkan oleh Imam Muslim saja dari riwayat az-Zuhri dari Sa'id bin al-Musayyab dan Abu salamah; keduanya dari Abu Hurairah, begitu juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Imam Ahmad dan an-Nasai serta ditashhih oleh Imam Ibnu Hibban.
Makna Hadits secara Global
Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang  oleh beliau. Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka tersebut.
Penjelasan Tambahan
Banyak hadits-hadits lain yang senada dengan hadits tersebut yang menunjukkan larangan bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu dan justru memojokkan posisi si penanya sendiri seperti pertanyaan seseorang yang menanyakan kepada Nabi bagaimana nasibnya nanti, apakah di neraka atau di surga ? atau yang bertanya tentang nasabnya, dan lain-lainya. Begitu juga larangan bertanya perihal yang sia-sia, atau dengan maksud  mengejek atau dimaksudkan untuk menyombongkan diri/berkeras kepala sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Munafik dan selain mereka.
Pertanyaan serupa yang juga dilarang adalah mempertanyakan ayat-ayat dengan tujuan untuk sekedar menunjukkan kekerasan hati dan penolakan terhadapnya seperti yang dilakukan oleh kaum Musyrikun dan Ahlul Kitab. Begitu juga larangan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah semata dan tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti bertanya tentang kapan saat kiamat terjadi dan tentang ruh.
Hadits-Hadits tersebut juga berbicara tentang larangan bagi kaum Muslimin untuk bertanya banyak seputar hal yang berkaitan dengan halal dan haram dan larangan bertanya seputar hal yang belum terjadi seperti ada seseorang yang bertanya tentang apa yang terjadi terhadap keluarganya padahal masalah yang ditanyakannya itu masih bersifat dugaan/perandaian.
Jadi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas (hadits yang kita bicarakan) maksudnya adalah : barangsiapa yang tidak menyibukkan dirinya dengan memperbanyak bertanya tentang hal-hal yang tidak terdapat semisalnya dalam AlQuran ataupun as-Sunnah tetapi justeru kesibukannya hanya dalam memahami firman Allah dan Sabda RasulNya yang tujuannya semata-mata hanya agar dapat menjalankan segala yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi segala yang dilarang baginya, maka orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits diatas dengan orang yang mendatangkan/melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Sedangkan orang yang tidak memberikan perhatiannya untuk memahami apa yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya dan justeru banyak menyibukkan dirinya dengan menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang masih bersifat kemungkinan; bisa terjadi dan bisa tidak, dan mencari-cari jawabannya berdasarkan pertimbangan logika semata, maka orang semacam ini dikhawatirkan termasuk orang yang telah melanggar hadits tersebut diatas yaitu melakukan larangan dan meniggalkan peritah yang ada.
Sesungguhnya banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak bersumber sama sekali dari AlQuran maupun dari as-Sunnah lantaran meninggalkan kesibukan yang semestinya diarahkan kepada perbuatan melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi larang-larangan keduanya. Jika saja orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan bertanya tentang apa yang disyari'atkan oleh Allah berkaitan dengan  pekerjaan tersebut (yang ditanyakannya) lantas dia menjalankan pekerjaan itu,  begitu juga dia bertanya tentang pekerjaan apa yang dilarang oleh Allah lantas dia meninggalkan pekerjaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi masih dalam kaitannya dengan AlQuran dan as-Sunnah. Sebab yang terjadi justeru sebaliknya, seseorang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan logika dan hawa nafsunya semata, sehingga secara umum peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam kondisi yang bertentangan dengan apa yang disyari'atkan oleh Allah, dan dalam hal ini barangkali sangat sulit untuk merujuknya kembali kepada hukum-hukum yang telah disebutkan dalam AlQuran dan as-Sunnah karena sudah terlalu jauh dari keduanya.
Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam dalam hadits tersebut (yang kita bahas) dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan dia memfokuskan dirinya hanya pada apa yang diperintahkan kepadanya saja,  terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sama seperti halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta'atan mereka  kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.
Permasalahan hadits diatas
Setidaknya  terdapat tiga masalah yang dibicarakan para ulama seputar hadits diatas, yaitu: pertama, masalah bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan terjadi. Kedua, masalah keutamaan meninggalkan al-Muharramât (hal-hal yang diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah. Ketiga, masalah orang yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan tetapi hanya mampu melakukan sebagiannya saja.
i) Masalah bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan terjadi
Yang dimaksud dengan bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat tersebut adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dilontarkan karena bisa saja hal tersebut berakibat jelek terhadap si penanya sendiri, begitu juga dengan masalah bertanya tentang hal-hal yang sebenarnya belum terjadi namun diperkirakan akan terjadi.
Sebab-Sebab dibencinya banyak bertanya perihal yang tidak bermanfaat
Diantara sebab dari adanya larangan banyak bertanya seputar hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah ; Pertama,  karena ditakutkan dengan pertanyaan semacam itu justru akan menurunkan beban syar'i (taklif) yang lebih berat lagi (karena Rasul masih hidup dan berbicara berdasarkan wahyu semata, maka datangnya jawaban tentang masalah yang dipertanyakan berarti perintah/taklif yang wajib dita'ati), seperti pertanyaan tentang apakah haji dilakukan setahun sekali atau tidak ?. Dalam sebuah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad dan ditashhih oleh Ibnu Hibban, Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : "Sesungguhnya orang-orang Islam yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka lantaran pertanyaannya hal itu (kemudian) diharamkan ".
Berkaitan dengan hadits ini, ada yang berpendapat bahwa hal itu khusus pada zaman Rasul saja, sedangkan setelah beliau wafat, hal itu bisa terhindarkan. Namun bukan lantaran itu saja sebenarnya sebab dibencinya bertanya tentang hal itu, tetapi ada sebab lainnya yaitu, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ucapan Ibnu 'Abbas, bahwa seluruh permasalahan agama yang diperlukan oleh kaum Muslimin pasti telah dijelaskan oleh Allah dalam KitabNya dan telah disampaikan oleh RasulNya sehingga tidak perlu lagi seseorang mengajukan pertanyaan sebab Allah Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambaNya; sesuatu yang didalamnya diperuntukkan bagi kemaslahatan dan mendapatkan hidayah buat mereka yang tentunya Allah pasti menjelaskannya sebelum adanya pertanyaan , sebagaimana Allah berfirman : "…..Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat..". (Q.,s. an-Nisa'/4: 176). Maka oleh karenanya tidak diperlukan lagi pertanyaan tentang apapun apalagi sebelum terjadinya dan sebelum kebutuhan akan hal itu, akan tetapi keperluan yang sesungguhnya adalah bagaimana memahami apa yang telah diinformasikan oleh Allah dan RasulNya, kemudian mengikuti dan mengamalkannya. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam sering ditanyai beberapa masalah maka beliau langsung merujuknya kepada AlQuran; seperti tatkala beliau ditanya oleh Umar tentang pengertian "al-Kalâlah", maka beliau menjawab dengan sabdanya :"cukup bagimu (dalam masalah ini/al-Kalâlah) ayat ash-Shaif". (H.R. Muslim dan Ibnu Majah).
Kedua, ditakutkan bahwa dengan pertanyaan itu justeru akan menimpa si penanya itu sendiri, dan karenanya Nabi sangat membenci pertanyaan semacam itu dan mencelanya, seperti pertanyaan yang berkaitan dengan hukum Li'an ; yaitu pertanyaan seseorang kepada Nabi perihal sesuatu yang masih merupakan dugaan/perandaian yang mungkin akan terjadi terhadap keluarganya dan ternyata lantaran pertanyaan itu hal tersebut benar-benar terjadi. (Lihat Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan at-Turmuzi dan Shahih Ibnu Hibban).
Jadi, bila himmah/keinginan si pendengar begitu mendengar perintah dan larangan hanya diarahkan kepada penciptaan masalah-masalah yang berpretensi kemungkinan terjadi dan kemungkinan tidak terjadi saja maka hal inilah yang termasuk dalam larangan tersebut yang dibenci untuk bertanya-tanya tentangnya sebab hal itu malah akan mematahkan semangat untuk mengikuti perintah tersebut. Dan hal ini pula yang menyebabkan Ibnu 'Umar memarahi seseorang yang bertanya kepadanya tentang hukum menyalami hajar aswad, maka lantas hal itu dijawab oleh Ibnu 'Umar : "aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya". Orang tersebut berkata kepadanya : bagaimana jika aku tidak sanggup melakukannya karena sesuatu hal ? bagaimana jika sedang dalam keadaan berdesak-desakan? ..Lalu Ibnu 'Umar menjawab :"jadikan ungkapanmu 'bagaiman jika' itu di negeri Yaman saja !(barangkali si penanya ini berasal dari negeri Yaman yang memang penduduknya suka membuat pernyataan semacam itu atau hal semacam itu merupakan kebiasaan yang ada di negeri Yaman-penj), aku telah melihat Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya ". (dikeluarkan oleh at-Turmuzi). Maksud Ibnu Umar dalam riwayat tersebut adalah bahwa jadikanlah keinginanmu semata-mata untuk mengikuti sunnah Rasulullah sehingga tidak perlu mengemukakan bayangan-bayangan kemungkinan tidak dapat melaksanakan hal itu atau lantaran sulitnya melakukan hal itu sebelum terjadi, karena hal itu justeru bisa mematahkan semangat untuk mengikuti sunnah Nabi. Bukankah tafaqquh (mendalami syari'at) hanya terdapat dalam agama dan bertanya tentang ilmu hanya dipuji bilamana hal itu untuk dilakukan/dipraktekkan bukan hanya untuk berdebat dan mencari muka?.
Sikap Salaf dalam masalah ini
Yang perlu diketahui, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam tidak pernah memberikan keringanan/rukhshah bertanya tentang banyak masalah (yang tidak perlu) kecuali kepada delegasi-delegasi orang 'Arab pedalaman (al-A'râb) dan orang-orang (yang kondisi keimanannya) seperti mereka yang datang kepada beliau. Hal itu (memberikan rukhshah kepada mereka) dilakukan oleh beliau dengan tujuan mendekatkan hati mereka dan melunakkannya. Sedangkan orang-orang Muhajirin dan Anshor yang tinggal disekitar kota Madinah dan telah mantap keimanannya, maka hal itu (bertanya tentang banyak masalah yang tidak perlu tersebut) dilarang bagi mereka. Diantara saksi yang membenarkan statement ini adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dari an-Nawwas bin Sam'ân, dia berkata: aku telah tinggal bersama Rasulullah selama setahun di Madinah dimana tidak ada satupun hal yang mencegah/melarangku berhijrah kecuali hanya satu permasalahan/pertanyaan saja, sedangkan salah seorang dari kami bila berhijrah mereka tidak pernah bertanya-tanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam .
Dan Dari al-Bara' bin 'Âzib, dia berkata :"Jika penghujung tahun telah datang kepadaku dan aku sebenarnya berkeinginan untuk bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah, lantas aku merasa takut untuk menyampaikannya maka kami hanya bercita-cita agar yang datang bertanya itu adalah orang-orang 'Arab pedalaman (al-A'râb)". (Musnad al-Kabir, karangan Abi Ya'la).
Ibnu 'Abbas berkata :"Saya tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih baik dari para Shahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam ; mereka tidak bertanya kepada beliau kecuali tentang dua belas masalah saja, yang semuanya termuat dalam AlQuran : yaitu firman Allah : "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi…". (Q.,s,al-Baqarah/2 : 219). Dan firmanNya:"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram..". (Q.,s, al-Baqarah/2: 217). Dan firmanNya :Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim.." (Q.,s. al-Baqarah/2: 220)……hingga akhir hadits.
Berkaitan dengan pertanyaan seputar peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, para shahabat bukannya tidak pernah menanyakan tentang hal itu tetapi mereka menanyakan hal itu, semata-mata untuk mereka amalkan begitu hal itu benar-benar terjadi, seperti pertanyaan Huzaifah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam tentang fitnah yang akan terjadi, dan bagaimana mereka menyikapinya nanti. Begitu juga mereka pernah menanyakan kepada beliau tentang para Umara' (pemimpin) yang beliau beritakan akan datang setelah beliau, bagaimana sikap mereka; mena'ati atau memerangi mereka. (H.R.Bukhari).
Ibnu 'Umar berkata : "Janganlah kalian bertanya tentang hal-hal yang belum terjadi, karena sungguh! saya telah mendengar 'Umar melaknat orang yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi". (diriwayatkan oleh Ibnu 'Abdil Barr). Begitu juga, Zaid bin Tsabit bila ditanyai tentang sesuatu, dia balik bertanya : apakah hal ini dulu  memang begini ?, jika mereka menjawab : tidak, maka dia lalu berkata :"biarkan saja dulu hingga terjadi".
Al-Hasan al-Bashri berkata :"Hamba-Hamba Allah yang paling jahat adalah orang-orang yang mengikuti/selalu menguntit masalah-masalah yang pelik yang dengannya membuat bencana bagi hamba-hamba Allah yang lain".
Imam al-Auzâ'i berkata : "Sesungguhnya bila Allah menghendaki diharamkannya keberkahan ilmu seorang hamba, maka Dia akan melemparkan kesalahan-kesalahan/ucapan-ucapan ngawur ke lisannya. Sungguh aku telah melihat mereka sebagai orang-orang yang paling sedikit ilmunya".
Alhasil, banyak sekali ungkapan dan perbuatan Salaf tentang ketidaksukaan mereka bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu dan yang masih berpretensi kemungkinan terjadi.
Sikap-Sikap para Ulama dalam mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi beberapa kelompok :
1.Ahlul Hadits : mereka menutup rapat-rapat pintu bertanya tentang masalah tersebut (bab al-masâil) sehingga hal ini menyebabkan mereka kurang faqih dan kurang keilmuannya berkaitan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya dan mereka akhirnya menjadi pembawa fiqih yang tidak faqih.
2.Ahlur Ra'yi : mereka sebaliknya  sangat memperluas bab ini, sehingga melahirkan banyak bab tentang ini (bab tentang permasalahan-permasalahan  yang berkaitan dengan hal-hal yang belum  terjadi); diantaranya ada yang terjadi menurut kebiasaan dan diantaranya ada yang tidak terjadi, dan mereka sangat disibukkan dengan hal ini dengan memberikan jawaban secara berlebihan (melebihi kemampuan mereka), memperbanyak perdebatan yang akibatnya melahirkan pula perselisihan hati dan memantapkan kemauan hawa nafsu, rasa permusuhan dan kebencian. Dan yang lebih menonjol lagi, adalah niat untuk selalu menang (dalam berdebat) dan mendapatkan pujian orang serta bersombong-sombong. Hal ini tentu saja amat dicela oleh ulama-ulama Rabbani, begitu juga banyak hadits menunjukkan keharaman perbuatan semacam ini.
3.Fuqaha' Ahlul Hadits yang 'Âmilin (yang mengamalkan hadits) : Keinginan mereka yang paling besar adalah mencari makna-makna AlQuran dan  tafsiran-tafsirannya baik melalui sunnah-sunnah yang shahih, perkataan para shahabat atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Begitu juga mereka mencari/membahas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam ; dengan tujuan mengetahui mana yang shahih darinya dan mana yang tidak, mendalaminya (tafaqquh) dan memahaminya, mengetahui makna-maknanya, serta mengetahui perkataan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam berbagai disiplin ilmu ; Tafsir, Hadits, masalah-masalah halal dan haram, pokok-pokok sunnah, zuhud, raqâiq dan lain-lain.

Inilah metode yang dilakukan oleh Imam Ahmad dan orang-orang yang sependapat dengannya yang termasuk dalam kelompok ulama hadits yang Rabbani. Imam Ahmad selalu berkata, bila beliau ditanyai mengenai masalah-masalah baru yang belum terjadi :"tinggalkan kami (jangan sibukkan kami) dengan masalah-masalah baru yang diada-adakan ini ! ".

Ahmad bin Syubwaih berkata :"barangsiapa yang menginginkan ilmu kubur ('Ilmul Qabri) maka hendaklah dia mengkaji atsar-atsar (hadits-hadits) dan barangsiapa yang menginginkan ilmu roti ('Ilmul Khubzi) maka silahkan mengkajinya dengan ra'yun (logika)".
 
ii) Masalah keutamaan meninggalkan al-Muharamât (hal-hal yang diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah.
Diantara masalah lain yang dibicarakan para ulama berkaitan dengan hadits diatas (yang kita bicarakan), adalah masalah keutamaan meninggalkan al-muharramât atas perbuatan ta'at . Secara zhahirnya, yang dimaksud dengan  perbuatan ta'at disini adalah perbuatan ta'at yang bersifat sunnah (bukan wajib). Sedangkan inti dari pembicaraan mereka tentang hal ini adalah bahwa menjauhi/meninggalkan al-muharramât (hal-hal yang diharamkan) meskipun sedikit lebih utama daripada memperbanyak perbuatan-perbuatan ta'at yang bersifat sunnah, karena hal itu (menjauhi/meninggalkan al-muharramât) adalah wajib sedangkan mengerjakan keta'tan yang sunnah itu hukumnya adalah sunnah.
Masalah ini dapat disimpulkan dari potongan hadits diatas (yang kita bahas ini) yaitu dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam : "Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka datangkanlah/lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian". Dalam hal ini, sebagian ulama berkata : "Dari potongan hadits diatas diambil kesimpulan bahwa larangan adalah lebih keras dari perintah, karena tidak pernah ada keringanan/rukhshah dalam melakukan suatu larangan sedangkan perintah selalu dikaitkan dengan istithâ'ah (kemampuan) dalam melakukannya". Ucapan ini diriwayatkan dari Imam Ahmad.
iii) Masalah orang yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan dan hanya mampu melakukan sebagiannya
Dalam masalah ini, orang tersebut harus melakukan apa yang mungkin untuk dilakukannya. Kemudian masalah ini berkembang kedalam pembahasan masalah yang terkait dengan masalah-masalah fiqih, seperti thaharah, shalat,  zakat fitrah, dan lain-lain. (untuk penjelasan yang lebih rinci lagi, lihat; kitab Jami'ul 'Ulum wal hikam, karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, h. 253-257).
 Intisari Hadits
Anjuran untuk melakukan perintah Rasulullah sesuai dengan kemampuan yaitu dengan memberikan perhatian yang penuh terhadap apa yang datang dari Allah dan RasulNya, berijtihad dalam memahaminya, mengetahui makna-maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam amaliah sehari-hari.
Para Salaf sangat berhati-hati  dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang tidak perlu dan masih berpretensi kemungkinan akan terjadi bahkan cenderung menghindarinya hingga hal itu benar-benar terjadi.
Dari satu sisi, bahwa meninggalkan al-Muharamât adalah lebih utama dari melakukan perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah.
Allah Ta'ala tidak membebankan taklif syar'i diluar kemampuan mukallaf dan dalam hal tertentu taklif tersebut berubah menjadi rukhshah/dispensasi sebagai kasih sayangNya kepada hamba-hambaNya sedangkan dalam masalah larangan maka tidak ada keringanan apapun untuk melakukannya bahkan taklifnya harus dilakukan secara total kecuali dalam keadaan darurat dimana dimaksudkan bukan untuk bersenang-senang serta mengumbar hawa nafsu.
Diantara ciri-ciri umat-umat terdahulu adalah suka banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan suka membantah Nabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan hal itulah sebagai penyebab hancur dan binasanya mereka.
(Disarikan dari kitab "Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam", karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, juz. I, h. 238-257).