Motto Santri :

Utlubul Ilma Minal Mahdi Ilallahdi

Jumat, 26 Juni 2009

Allah Selalu Bersamamu

Salah satu bekal yang penting diberikan para orang tua kepada anak-anaknya adalah upaya
menumbuhkan rasa optimis pada diri anak dalam menghadapi kehidupan yang sarat dengan
problema. Cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengenalkan pada anak
akan pertolongan Allah yang diberikan kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Anak perlu
dipahamkan bahwa bila Allah telah memberikan pertolongan-Nya, maka permasalahan
seberat apapun akan bisa diselesaikan.

Anak, dengan segala keunikan yang ada pada pribadinya, tidak terlepas dari permasalahan,
baik berkenaan dengan dirinya, tempat belajarnya, ataupun orang-orang di sekelilingnya.
Begitu pun sisi berat ringannya permasalahan yang dihadapi berbeda-beda antara satu anak
dengan yang lainnya. Tak jarang dijumpai dalam keseharian anak-anak yang begitu penakut
terhadap segala sesuatu yang tak pantas dikhawatirkan. Semua itu terkadang membuat orang
tua berkerut dahi, dengan jalan apa kiranya mengatasi hal-hal semacam ini?
Jika demikian, tentu sang anak membutuhkan bekal untuk menghadapi setiap problema yang
dihadapinya. Dia membutuhkan bimbingan agar senantiasa merasakan pengawasan Rabb-
nya, meminta hanya kepada-Nya, disertai keyakinan yang kokoh terhadap ketetapan dan
takdir-Nya.
Ketika itulah selayaknya orang tua melihat kembali, bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menanamkan optimisme dan kebesaran jiwa pada diri anak, agar menghadapi
gelombang kehidupan ini dengan keberanian dan penuh harapan, hingga kelak mereka
menjadi sesosok pribadi yang bermanfaat bagi umat ini. Beliau pesankan kepada putra
pamannya, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu 'anhuma:
ٍت ﺎ َﻤ ِﻠ َآ َﻚ ُﻤ ﱢﻠ َﻋ ُأ ﻲﱢﻧِإ ،ُمَﻼُﻏ ﺎَﻳ . َﻚ َه ﺎ َﺠ ُﺗ ُﻩ ْﺪ ِﺠ َﺗ َﷲ ا ِﻆ َﻔ ْﺣ ِا ،َﻚْﻈَﻔْﺤَﻳ َﷲ ا ِﻆ َﻔ ْﺣ ا . ِﷲ ﺎ ِﺑ ْﻦ ِﻌ َﺘ ْﺳ ﺎ َﻓ َﺖ ْﻨ َﻌ َﺘ ْﺳ ا اَذِإَو َﷲ ا ِل َﺄ ْﺳ ﺎ َﻓ َﺖ ْﻟ َﺄ َﺳ اَذِإ . ْﻢ َﻠ ْﻋ ا َو
ْﻢ َﻟ ٍﺊ ْﻴ َﺸ ِﺑ َك و ﱡﺮ ُﻀَﻳ ْن َأ ﻰَﻠَﻋ ا ﻮ ُﻌ َﻤ َﺘ ْﺟ ا ِن ِإ َو َﻚ َﻟ ُﷲ ا ُﻪ َﺒ َﺘ َآ ْﺪ َﻗ ٍء ْﻲ َﺸ ِﺑ ﱠﻻ ِإ َك ﻮ ُﻌ َﻔ ْﻨ َﻳ ْﻢ َﻟ ٍء ْﻲ َﺸ ِﺑ َك ﻮ ُﻌ َﻔ ْﻨ َﻳ ْن َأ ﻰَﻠَﻋ ْﺖ َﻌ َﻤ َﺘ ْﺟ ا ِﻮ َﻟ َﺔ ﱠﻣ ُﻷ ا ﱠن َأ
َﻚ ْﻴ َﻠ َﻋ ُﷲ ا ُﻪ َﺒ َﺘ َآ ْﺪ َﻗ ٍء ْﻲ َﺸ ِﺑ ﱠﻻ ِإ َك و ﱡﺮ ُﻀَﻳ . ُﻒ ُﺤ ﱡﺼﻟ ا ِﺖ ﱠﻔ َﺟ َو ُم َﻼ ْﻗ َﻷ ا ِﺖ َﻌ ِﻓ ُر . َل ﺎ َﻗ َو يِﺬِﻣْﺮﱢﺘﻟا ُﻩ ا َو َر : ٌﺢ ْﻴ ِﺤ َﺻ ٌﻦ َﺴ َﺣ ٌﺚ ْﻳ ِﺪ َﺣ .
يِﺬِﻣْﺮﱢﺘﻟا ِﺮ ْﻴ َﻏ ِﺔ َﻳ ا َو ِر ﻲِﻓَو : َﻚ َﻣ ﺎ َﻣ َأ ُﻩ ْﺪ ِﺠ َﺗ َﷲ ا ِﻆ َﻔ ْﺣ ا . ِة ﱠﺪ ﱢﺸ ﻟ ا ﻲِﻓ َﻚ ْﻓ ِﺮ ْﻌ َﻳ ِء ﺎ َﺧ ﱠﺮ ﻟ ا ﻲِﻓ ِﷲ ا ﻰَﻟِإ ْف ﱠﺮ َﻌ َﺗ . ْﻦ ُﻜ َﻳ ْﻢ َﻟ َك َﺄ َﻄ ْﺧ َأ ﺎَﻣ ﱠن َأ ْﻢ َﻠ ْﻋ ا َو
َﻚ َﺌ ِﻄ ْﺨ ُﻴ ِﻟ ْﻦ ُﻜ َﻳ ْﻢ َﻟ َﻚ َﺑ ﺎ َﺻَأ ﺎَﻣَو َﻚ َﺒ ْﻴ ِﺼُﻴ ِﻟ . اًﺮْﺴُﻳ ِﺮ ْﺴ ُﻌ ﻟ ا َﻊ َﻣ ﱠن َأ َو ِب ْﺮ َﻜ ﻟ ا َﻊ َﻣ َج َﺮ َﻔ ﻟ ا َﱠن َأ َو ِﺮ ْﺒ ﱠﺼﻟ ا َﻊ َﻣ َﺮ ْﺼﱠﻨ ﻟ ا ﱠن َأ ْﻢ َﻠ ْﻋ ا َو
“Wahai anak(ku), sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah
Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Dia ada di
hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon
pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini
berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikannya
kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk
menimpakan mudharat kepadamu, mereka tidak akan dapat menimpakannya kecuali apa
yang telah Allah tetapkan menimpamu. Telah diangkat pena, dan telah kering lembaran-
lembaran.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan beliau berkata: hadits hasan
shahih).1
Dan dalam riwayat selain At-Tirmidzi: “Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Dia di
hadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan lapang, niscaya Dia akan mengenalimu dalam
keadaan susah. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang ditetapkan luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang ditetapkan menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah,
pertolongan itu berrsama kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan, dan bersama
kesulitan itu ada kemudahan.”
Inilah kalimat yang agung dan mulia dari lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
seakan beliau mengatakan: Jagalah batasan-batasan dan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, juga dengan mempelajari
agama-Nya hingga engkau dapat menunaikan ibadah dan muamalahmu. Jagalah semua itu,
niscaya Dia akan menjaga agama, keluarga, harta maupun dirimu, karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik atas kebaikannya.
Sementara balasan yang paling penting adalah penjagaan-Nya terhadap agamamu serta
menyelamatkan dirimu dari kesesatan.
Sebaliknya, seseorang yang menelantarkan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala pun akan menelantarkan dirinya dan dia tidak berhak mendapatkan
penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya:
َن ْﻮ ُﻘ ِﺳ ﺎ َﻔ ْﻟ ا ُﻢ ُه َﻚ ِﺌ َﻟ و ُأ ْﻢ ُﻬ َﺴ ُﻔ ْﻧ َأ ْﻢُهﺎَﺴْﻧَﺄَﻓ َﷲ ا اﻮُﺴَﻧ َﻦ ْﻳ ِﺬ ﱠﻟ ﺎ َآ ا ﻮ ُﻧ ْﻮ ُﻜ َﺗ َﻻ َو
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah jadikan
mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
Pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini juga memberikan pelajaran pada seorang
anak untuk meminta ataupun memohon pertolongan hanya kepada Allah semata, tidak
memintanya kepada makhluk. Karena Dialah yang memiliki kerajaan langit dan bumi.
Namun, tidak terlarang untuk meminta pertolongan kepada makhluk pada hal-hal yang
mampu dia lakukan. Kalaupun dia harus meminta sesuatu atau mencari pertolongan kepada
makhluk, maka sesungguhnya makhluk itu hanyalah sebab dan Allahlah yang menciptakan
sebab, hingga kepada-Nyalah harus bersandar.
Demikian pula segala kebaikan yang diberikan dan bahaya yang ditimpakan oleh makhluk,
semuanya telah ditetapkan oleh Allah. Namun, bukan berarti seseorang tidak diperkenankan
untuk menolak bahaya dari dirinya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ﺎَﻬُﻠْﺜِﻣ ٌﺔ َﺌ ﱢﻴ َﺳ ٍﺔ َﺌ ﱢﻴ َﺳ ُء ا َﺰ َﺟ َو
“Dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan yang semisal.” (Asy-Syura: 40)

Oleh karena itu, seorang hamba harus menggantungkan harapannya kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan tidak berpaling sedikit pun kepada makhluk, karena makhluk tidak memiliki
kekuasaan sedikit pun untuk memberi manfaat maupun menimpakan bahaya.
Begitu pun nasihat ini berisi anjuran untuk menunaikan hak Allah di saat lapang, sehat dan
berkecukupan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengenalinya ketika berada dalam
kesusahan, hingga Dia ringankan penderitaannya, menolong dan menghilangkan
kesusahannya itu.
Ditemui pula pengajaran pada sang anak bahwa apa pun yang ditetapkan akan menimpa tak
akan dapat ditolak. Dan apa pun yang tidak ditetapkan tak akan bisa diraih, karena Allah
telah menetapkan semua itu.
Di dalam nasihat ini juga terdapat anjuran agar bersabar untuk memperoleh pertolongan.
Kesabaran ini mencakup sabar untuk taat kepada Allah, sabar dalam menjauhi maksiat
kepada Allah, dan sabar di atas ketetapan Allah yang ‘menyakitkan’ (menurut manusia, red).
Inilah kabar gembira bagi orang yang bersabar, karena pertolongan akan mengiringi
kesabaran. Inilah kabar gembira bahwa kelapangan itu mengiringi kesusahan. Hendaknya
pula ketika ditimpa kesulitan, seorang hamba bersandar diri kepada Allah dengan menanti-
nantikan kemudahan dari Allah serta membenarkan janji Allah, karena Allah telah
mengatakan di dalam Kitab-Nya yang mulia: اًﺮْﺴُﻳ ِﺮ ْﺴ ُﻌ ْﻟ ا َﻊ َﻣ ﱠن ِﺈ َﻓ . اًﺮْﺴُﻳ ِﺮ ْﺴ ُﻌ ْﻟ ا َﻊ َﻣ ﱠن ِإ
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama
kesulitan itu ada kemudahan.” (Alam Nasyrah: 5-6)[Dirangkum dari Syarh Al-Arba’in An-
Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah2]
Di waktu yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan nasihat yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
ِﻒ ْﻴ ِﻌ َﻀﻟ ا ِِﻦ ِﻣ ْﺆ ُﻤ ﻟ ا َﻦ ِﻣ ِﷲ ا ﻰَﻟِإ ﱡﺐ َﺣ َأ َو ٌﺮ ْْﻴ َﺧ يِﻮَﻘﻟا ُﻦ ِﻣ ْﺆ ُﻤ ﻟ ا . ﺮْﻴَﺧ ﱟﻞ ُآ ﻲِﻓَو . ْﺰ ِﺠ ْﻌ َﺗ َﻻ َو ِﷲ ﺎ ِﺑ ْﻦ ِﻌ َﺘ ْﺳ ا َو َﻚ ُﻌ َﻔ ْﻨ َﻳ ﺎَﻣ ﻰَﻠَﻋ ْصِﺮ ْﺣ ِا ٌ . ْن ِإ َو
ْﻞ ُﻘ َﺗ َﻼ َﻓ ٌء ْﻲ َﺷ َﻚ َﺑ ﺎ َﺻَأ : اَﺬَآَو اَﺬَآ َن ﺎ َآ ُﺖ ْﻠ َﻌ َﻓ ﻲﱢﻧَأ ْﻮ َﻟ . ْﻞ ُﻗ ْﻦ ِﻜ َﻟ َو : َﻞ َﻌ َﻓ َء ﺎ َﺷ ﺎَﻣَو ِﷲ ا ُر َﺪ َﻗ . ِن ﺎ َﻄ ْﻴ ﱠﺸ ﻟ ا َﻞ َﻤ َﻋ ُﺢ َﺘ ْﻔ َﺗ ْﻮ َﻟ ﱠن ِﺈ َﻓ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang
lemah, dan pada masing-masing dari keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk
melakukan apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, serta
jangan merasa lemah. Apabila engkau ditimpa sesuatu, janganlah mengatakan ‘Seandainya
aku dulu melakukan begini dan begini’, namun katakanlah ‘Ini adalah takdir Allah, dan apa
pun yang Allah kehendaki pasti Allah lakukan’ karena ucapan ‘seandainya’ itu membuka
amalan setan.” (HR. Muslim no. 2664)
Yang dimaksud dengan kuat dalam ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini
adalah jiwa yang kokoh dan bersemangat terhadap perkara akhirat. Sehingga orang yang
seperti ini menjadi orang yang paling pemberani terhadap musuh, paling cepat bertolak ke
medan jihad, paling teguh dalam memerintahkan orang lain pada kebaikan dan mencegah
dari kemungkaran, dan bersabar dalam menempuh semua itu, serta tabah dalam menempuh
kesusahan karena mengharap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia pun menjadi orang yang
paling senang menunaikan shalat, puasa, dzikir, maupun seluruh ibadah, bersemangat pula
untuk menjalankan dan menjaganya. Akan tetapi, baik orang yang kuat maupun orang yang
lemah memiliki kebaikan karena mereka sama-sama beriman, juga karena ibadah yang
dilakukan oleh orang yang lemah itu.
Dianjurkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersemangat dalam
berbuat ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menginginkan apa yang ada di sisi-
Nya, serta memohon pertolongan kepada-Nya untuk mendapatkan itu semua. Hendaknya
seorang hamba tidak merasa lemah dan malas untuk mencari amalan ketaatan dan memohon
pertolongan dari-Nya. (Syarh Shahih Muslim)
Inilah yang semestinya tergambar dalam sosok pribadi seorang anak. Tak ada salahnya bila
suatu ketika orang tua menuturkan kisah-kisah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang
perjalanan hidup orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala beri kemuliaan, yang sarat
dengan optimisme dan keyakinan kepada Rabb-nya. Karena anak senang dengan cerita dan
biasanya berbekas dalam jiwanya. Salah satunya dituturkan oleh Shuhaib bin Sinan
radhiallahu 'anhu3 dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dulu hidup seorang raja yang memiliki seorang tukang sihir. Ketika usia tukang sihir itu
telah menua, ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya aku ini telah tua, maka utuslah
padaku seorang pemuda yang dapat kuajari sihir.” Lalu raja pun mengirim seorang pemuda
untuk diajari sihir. Di tengah jalan yang biasa dilalui pemuda itu menuju tukang sihir ada
seorang rahib. Pemuda itu singgah duduk dan mendengarkan ucapan sang rahib. Dia pun
merasa takjub. Maka demikianlah bila dia mendatangi tukang sihir, dia melewati rahib lalu
duduk di hadapannya. Bila tiba di hadapan tukang sihir, tukang sihir itu pun memukulnya.
Dia adukan hal itu kepada rahib. Si rahib menjawab, “Kalau engkau khawatir terhadap
tukang sihir, katakan padanya ‘Keluargaku menahanku’, dan kalau engkau khawatir terhadap
keluargamu, katakan ‘Tukang sihir menahanku’.”
Demikian terus berlangsung sampai suatu saat, muncul seekor binatang besar yang
menghalangi jalan manusia. Pemuda itu berkata, “Pada hari ini aku akan mengetahui, apakah tukang sihir yang lebih utama ataukah rahib.” Lalu diambilnya sebuah batu sambil berkata,
“Ya Allah, bila ajaran rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, matikanlah
binatang ini, hingga manusia dapat lewat kembali.” Dilemparnya binatang itu hingga
akhirnya mati dan orang-orang pun dapat melewati jalan itu lagi.
Kemudian dia datang kepada rahib dan menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu rahib
berkata, “Wahai anakku, sekarang engkau lebih utama daripadaku, engkau telah mencapai
kedudukan sebagaimana yang kulihat, dan nanti engkau akan diuji. Jika engkau
mendapatkan ujian, jangan sekali-kali menunjuk padaku.”
Pemuda itu pun dapat mengobati orang yang buta sejak lahir, orang yang berpenyakit sopak
ataupun segala penyakit. Hal itu didengar oleh seorang pendamping raja yang buta. Dia pun
mendatangi pemuda itu dengan membawa banyak hadiah, lalu berkata, “Semua yang di
hadapanmu ini menjadi milikmu kalau engkau bisa menyembuhkanku.” Si pemuda
menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah
Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Allah
menyembuhkanmu.” Pendamping raja itu pun beriman dan Allah pun menyembuhkannya.
Pendamping raja itu kembali duduk di sisi raja sebagaimana biasanya. Sang raja bertanya,
“Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” “Rabbku,” jawab pendamping raja. “Apakah
engkau punya rabb selain aku?” tanya raja lagi. “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah,”
jawabnya.
Sang raja pun menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai akhirnya pendamping
raja itu menunjukkan si pemuda. Didatangkanlah pemuda itu dan dia mengatakan,
“Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah
Allah.” Mendengar itu, raja segera menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai
pemuda itu menunjukkan si rahib. Didatangkan pula si rahib dan dikatakan padanya, “Keluar
dari agamamu!” Rahib itu menolak. Raja meminta sebilah gergaji, lalu digergajilah tepat di
tengah-tengah kepala rahib hingga terbelah dua badannya. Kemudian didatangkan
pendamping raja dan dikatakan pula, “Keluar dari agamamu!” Akan tetapi dia menolak
hingga digergaji tepat di tengah kepalanya sampai terbelah dua badannya.
Setelah itu didatangkan si pemuda dan dikatakan juga padanya, “Keluar dari agamamu!” Dia
pun menolak, hingga raja menyerahkannya pada para pengawal, “Bawa dia naik ke gunung.
Kalau kalian telah sampai di puncak, tawarkanlah kalau dia mau keluar dari agamanya.
Kalau tidak, lemparkan dia!” Mereka membawa pemuda itu naik ke gunung. Pemuda itu
berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.”
Tiba-tiba gunung itu bergoncang dahsyat hingga para pengawal itu berjatuhan dari atas
gunung. Pulanglah pemuda itu dengan berjalan kaki ke hadapan raja. Raja pun bertanya
heran, “Apa yang mereka lakukan?” Jawab pemuda itu, “Allah menyelamatkanku dari
mereka.”
Kemudian raja kembali menyerahkannya pada pengawal, “Bawalah dia dengan perahu
hingga ke tengah lautan, lalu tawarkan kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak,
lemparkan dia ke lautan.” Mereka pun membawanya ke tengah lautan. Pemuda itu lalu
berdoa, “Ya Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Tiba-
tiba perahu itu terbalik hingga para pengawal raja tenggelam. Pemuda itu pulang ke hadapan
raja dengan berjalan kaki. Raja bertanya lagi, “Apa yang mereka lakukan?” Pemuda itu
menjawab, “Allah menyelamatkanku dari mereka.”
Pemuda itu berkata lagi, “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sampai
engkau laksanakan saranku.” “Apa itu?” tanya raja. “Engkau kumpulkan manusia di sebuah
tanah lapang, dan engkau salib aku pada sebatang pohon. Lalu ambil sebuah anak panah dari
tempat anak panahku dan letakkan di busur. Kemudian ucapkan ‘Dengan nama Allah, Rabb

pemuda ini’ lalu panahlah. Kalau engkau lakukan ini, engkau akan bisa membunuhku.”
Raja segera mengumpulkan manusia di suatu tanah lapang dan menyalib pemuda itu pada
sebatang pohon. Lalu diambilnya anak panah dari tempatnya kemudian diletakkan di
busurnya sambil berkata, “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.” Dilontarkannya anak
panah tepat mengenai dahi pemuda itu. Pemuda itu pun meletakkan tangannya di dahinya, di
tempat sasaran anak panah, lalu meninggal.
Menyaksikan hal itu, manusia pun berkata, “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami
beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu!”
Disampaikanlah kepada raja, “Tidakkah engkau melihat apa yang engkau khawatirkan?
Demi Allah, sungguh telah terjadi apa yang engkau takutkan. Manusia telah beriman.” Maka
raja memerintahkan untuk dibuat parit besar di setiap pintu kota dan dinyalakan api di
dalamnya. Raja berkata, “Barangsiapa yang tidak mau keluar dari agamanya, lempar dan
bakar dia di dalamnya!” Perintah itu pun segera dilaksanakan.
Suatu ketika, datang seorang wanita membawa anaknya yang masih kecil. Dia merasa
bimbang untuk masuk ke dalam api. Tiba-tiba berucaplah sang anak, “Bersabarlah wahai
ibu, sesungguhnya engkau di atas kebenaran.”
Inilah di antara banyak kisah yang memberikan gambaran tentang keadaan seorang mukmin
yang senantiasa bersandar kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar dari
permasalahannya. Semogalah tuturan ini memberikan bekas kebaikan yang tertanam dalam
jiwa anak-anak.
Wallahu a’lamu bish shawab.

1 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/2043 dan Al-
Misykat no. 5302.
2 Diambil dari www.binothaimeen.com
3 Diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahihnya no. 3005

Keutamaan Ilmu dan Ulama

Mengenal Beberapa Makna Sebagian Mufradat Ayat

ُﻪﱠﻠﻟا ِﻊ َﻓ ْﺮ َﻳ

“Allah meninggikan” maknanya Allah mengangkat. Yaitu mengangkat kaum mukminin di
atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak
berilmu.

َﻢ ْﻠ ِﻌ ْﻟ ا اﻮُﺗوُأ

“orang-orang yang diberi ilmu”, yang dimaksud ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu syar’i.
Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan
agamanya berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

ٍت ﺎ َﺟ َر َد

“Beberapa derajat”. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: yaitu derajat di dalam agama ketika
mereka melaksanakan apa yang diperintahkan.

Tafsir Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan
orang-orang yang senantiasa menuntut ilmu agama. Di samping karena keimanan yang
mereka miliki, mereka juga diangkat derajat dan kedudukannya oleh Allah karena
bertambahnya ilmu agama mereka, yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan
mendekatkan kepada keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini:
- Ath-Thabari rahimahullah berkata: Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat kaum
mukminin dari kalian wahai kaum, dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. Maka
(mereka taat) pada apa yang diperintahkan kepada mereka untuk melapangkan (majelis)
ketika mereka diperintahkan untuk melapangkannya. Atau mereka bangkit menuju kebaikan
apabila diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya. Dan dengan keutamaan ilmu yang
mereka miliki, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu
dari ahlul iman (kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika
mereka mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.” Lalu beliau menukilkan beberapa
perkataan ulama salaf, di antaranya Qatadah rahimahullah, beliau berkata: “Sesungguhnya
dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan. Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas
pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan. Dan Allah
memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 28
hal.19)
Antara Ilmu dan Ibadah
Menuntut ilmu juga merupakan jenis ibadah. Namun ilmu merupakan jenis ibadah yang
memiliki nilai dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya.
Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

ُع َر َﻮ ْﻟ ا ِﻦ ْﻳ ﱢﺪ ﻟ ا ُك َﻼ ِﻣ َو ِة َد ﺎ َﺒ ِﻌ ْﻟ ا ِﻞ ْﻀَﻓ ْﻦ ِﻣ ٌﺮ ْ ﻴ َﺧ ِﻢ ْﻠ ِﻌ ْﻟ ا ُﻞ ْﻀ َﻓ

“Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Dan kunci agama adalah bersikap
wara’ (meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan memudharatkan di akhirat,
pen).” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Nu’aim, Al-Hakim, dll, dari hadits Hudzaifah
ibnul Yaman. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Qais bin’ Amr Al-Mula’i,
dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4214. Lihat pula Shahih Jami’ Bayan Al-
‘Ilmi Wa Fadhlihi no. 27)
Hadits ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntut ilmu. Ini disebabkan karena
seorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya, mendakwahkannya, hingga Allah
memberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka menjadi salah satu
amal jariyah baginya. Selama ada yang mengamalkan ilmunya tersebut, maka dia akan terus
mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala walaupun dia telah meninggal. Berbeda
dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya, tidak ada yang merasakan
manfaatnya kecuali hanya dirinya sendiri.
Ishaq bin Manshur rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad tentang
perkataannya: Mudzakarah (mengulang-ulangi) ilmu pada sebagian malam lebih aku senangi
daripada menghidupkannya (dengan qiyamul lail). Ilmu apakah yang dimaksud?” Beliau
menjawab: “Yaitu ilmu yang memberi manfaat kepada manusia dalam perkara agamanya.”
Aku bertanya lagi: “Dalam hal (cara) berwudhu’, shalat, puasa, haji, talak, dan semisalnya?”.
Beliau menjawab: “Iya.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 30/45)
Dan berkata pula Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi: Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
berkata:

ِﺔ َﻠ ِﻓ ﺎ ﱠﻨ ﻟ ا ِة َﻼ ﱠﺼﻟ ا َﻦ ِﻣ ُﻞ َﻀْﻓ َأ ِﻢ ْﻠ ِﻌ ْﻟ ا ُﺐ َﻠ َﻃ

“Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 31/48)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih
afdhal daripada seseorang yang mempelajari ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/78)

Kemuliaan Para Ulama
Ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala ini menjelaskan demikian tingginya derajat dan kedudukan
para ulama di atas yang lainnya. Dan merekalah orang-orang yang senantiasa mendapatkan
kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan juga di kalangan manusia. Di dalam ayat
yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ُء ﺂ ﺸ َﻧ ْﻦ َﻣ ٍت ﺎ َﺟ َر َد ُﻊ َﻓ ْﺮ َﻧ

“Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki.” (Yusuf: 76)
Al-Imam Malik rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Yaitu dengan
ilmu.” (dikeluarkan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul
Bayan. Lihat Madarikun Nazhar hal. 36)
Zaid bin Aslam rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
اًرﻮُﺑَز َد ُو ا َد ﺎَﻨْﻴَﺗﺁَو ٍﺾْﻌ َﺑ ﻰَﻠَﻋ َﻦﻴﱢﻴِﺒﱠﻨﻟا َﺾْﻌ َﺑ ﺎَﻨْﻠﱠﻀَﻓ ْﺪ َﻘ َﻟ َو

“… Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain),
dan Kami berikan Zabur (kepada Dawud).” (Al-Isra: 55)
kata beliau: “yaitu dengan ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/79).
Diberitakan oleh Asy’ats bin Syu’bah Al-Misshishi bahwa beliau berkata: Suatu hari Harun
Ar-Rasyid pergi ke Raqqah, maka berlalu gerombolan manusia di belakang Abdullah ibnul
Mubarak, terputuslah sandal-sandal, debu-debu bertebaran. Lalu salah seorang budak wanita
Amirul Mukminin melongok dari dalam istana, lalu bertanya: “Siapa ini?” Mereka
menjawab: “Seorang alim dari Khurasan telah datang.”
Berkatalah sang budak: “Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya, bukan kerajaan milik
Harun yang mengumpulkan manusia dengan tentaranya dan para pembantunya.” (Siyaru
A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 8/384)
Wallahi, inilah kemuliaan yang sebenarnya. Dan bukanlah kemuliaan ketika seseorang
diberikan pundi-pundi harta kekayaan, atau jabatan yang menjadi incaran, atau partai-partai
yang menjadi dambaan, atau duduk di kursi DPR/MPR, dengan dalih “menegakkan syariat
Islam”, “merintis khilafah Islam”, dan propaganda lainnya.
Katakanlah kepada mereka: “Wahai orang-orang yang muflis (bangkrut), bagaimanapun
pandainya kalian dalam menata organisasi dan partai kalian, menyelenggarakan berbagai
macam kegiatan hizbiyyah kalian, menjaga diri dari berbagai makar dan tipu daya syaithan,
kalian tidaklah mungkin mendapatkan kemuliaan dan keagungan hingga kalian menjadikan
amalan kalian di atas ilmu, mengenal keutamaan ilmu, dan ahli ilmu.” (Lihat Madarikun
Nazhar, hal. 36)
Suatu hal yang mustahil bagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam, mendirikan
khilafah Islamiyah, namun menempuhnya dengan cara-cara yang batil, dengan membentuk
partai, masuk ke dalam parlemen, menundukkan dirinya di hadapan demokrasi yang thaghut,
dan tidak membangun segala aktivitasnya di atas ilmu yang haq dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh mereka hanyalah mencari sesuatu yang
bersifat fatamorgana, sebagaimana sebuah syair:

ِﺲ َﺒ َﻴ ْﻟ ا َﻰ ﻠ َﻋ يِﺮْﺠَﺗ َﻻ َﺔ َﻨ ْﻴ ِﻔ ﱠﺴ ﻟ ا ﱠن ِإ ﺎ َﻬ َﻜ ِﻟ ﺎ َﺴ َﻣ ْﻚ ُﻠ ْﺴ َﺗ ْﻢ َﻟ َو َة ﺎ َﺠ ﱠﻨ ﻟ ا ﻮُﺟْﺮَﺗ

Kalian mengharapkan keselamatan namun tidak menempuh jalan-jalannya
Sesungguhnya kapal tidak akan berlayar di atas tempat yang kering

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Di antara tanda berpalingnya Allah dari hamba-
Nya adalah dia menjadikan sibuk terhadap apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (At-
Tamhid, Ibnu Abdil Bar. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 444)
Dengan ilmulah seseorang akan mendapatkan kemuliaan dunia sebelum akhirat.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memilih Thalut untuk memimpin Bani Israil,
firman-Nya:

ﺎًﻜِﻠَﻣ َت ﻮ ُﻟ ﺎ َﻃ ْﻢ ُﻜ َﻟ َﺚ َﻌ َﺑ ْﺪ َﻗ َﻪﱠﻠﻟا ﱠن ِإ ْﻢ ُﻬ ﱡﻴ ِﺒ َﻧ ْﻢ ُﻬ َﻟ َل ﺎ َﻗ َو

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut
menjadi rajamu.’…” (Al-Baqarah: 247)
Di dalam Shahih Muslim dari ‘Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdil Harits bertemu ‘Umar di ‘Usfan. Ketika itu ‘Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Makkah. Kemudian
‘Umar bertanya: “Siapa yang engkau angkat jadi pemimpin daerah lembah?” Beliau
menjawab: “Ibnu Abza.” (‘Umar) bertanya: “Siapa Ibnu Abza?” Beliau menjawab: “Dia
adalah salah satu bekas budak kami.” (‘Umar) bertanya: “Engkau jadikan yang memimpin
mereka dari kalangan maula (bekas budak)?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia
mempunyai ilmu tentang kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan alim dalam ilmu warisan.”
‘Umar berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Nabimu Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda:

َﻦ ْﻳ ِﺮ َﺧ ﺁ ِﻪ ِﺑ ُﻊ َﻀَﻳ َو ﺎ ًﻣ ا َﻮ ْﻗ َأ َب ﺎ َﺘ ِﻜ ْﻟ ا اَﺬَﻬِﺑ ُﻊ َﻓ ْﺮ َﻳ َﷲ ا ﱠن ِإ

“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) sebagian kaum dengan kitab ini (Al Qur’an),
dan dengannya Allah merendahkan yang lainnya.”
Ahmad bin Ja’far bin Muslim rahimahullah berkata: Aku mendengarkan Abbar berkata:
Ketika aku berada di Al-Ahwaz, aku melihat ada seorang laki-laki yang telah mencukur
habis kumisnya,-(Ahmad bin Ja’far berkata) aku menyangka dia berkata- dia telah membeli
beberapa kitab dan siap menjadi seorang mufti. Lalu disebutkan kepadanya ashabul hadits,
maka dia menjawab: “Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak memiliki apa-apa.” Aku
pun berkata (kepadanya): “Engkau tidak pandai mengerjakan shalat.” Dia berkata: ‘Aku?’.
Aku menjawab: ‘Iya, apa yang engkau hafal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika engkau membuka shalatmu dan mengangkat kedua tanganmu?’ Maka dia terdiam.
Aku pun bertanya kembali: ‘Apa yang engkau hafal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tatkala engkau sujud?’. Dia kembali terdiam. Aku berkata: ‘Bukankah aku telah
mengatakan engkau tidak pandai mengerjakan shalat? Maka janganlah engkau menjelekkan
ashabul hadits.” (Siyaru A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 13/444)

Ulama adalah Para Mujahid
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan orang-orang yang menuntut ilmu sebagai salah
satu bagian dalam jihad fi sabilillah. Firman-Nya:

ْﻢ ُﻬ ﱠﻠ َﻌ َﻟ ْﻢ ِﻬ ْﻴ َﻟ ِإ ا ﻮ ُﻌ َﺟ َر اَذِإ ْﻢ ُﻬ َﻣ ْﻮ َﻗ ا و ُر ِﺬ ْﻨ ُﻴ ِﻟ َو ِﻦ ﻳ ﱢﺪ ﻟ ا ﻲِﻓ ا ﻮ ُﻬ ﱠﻘ َﻔ َﺘ َﻴ ِﻟ ٌﺔ َﻔ ِﺋ ﺎ َﻃ ْﻢ ُﻬ ْﻨ ِﻣ ٍﺔ َﻗ ْﺮ ِﻓ ﱢﻞ ُآ ْﻦ ِﻣ َﺮ َﻔ َﻧ َﻻ ْﻮ َﻠ َﻓ ًﺔ ﱠﻓ ﺎ َآ ا و ُﺮ ِﻔ ْﻨ َﻴ ِﻟ َنﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا َن ﺎ َآ ﺎَﻣَو
َن و ُر َﺬ ْﺤ َﻳ

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (At-Taubah:122)
Abu Darda radhiallahu 'anhu berkata: “Barangsiapa yang menganggap bahwa berangkatnya
seseorang mencari ilmu itu bukan jihad, maka sungguh dia kurang akal dan fikiran.” (Lihat
Shahih Jami’ Al Bayan, 35/56)
Terhadap merekalah kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk kepadanya ketika mereka
menghadapi berbagai macam problem dan masyakil di dalam agama mereka. Baik masalah
bersuci, shalat, puasa, zakat, jihad, maupun persoalan-persoalan kontemporer (fiqh nawazil)
dan lain sebagainya. Barangsiapa yang membagi para ulama menjadi dua: ulama dalam
urusan jihad dan ulama mengurusi selain jihad, maka sungguh dia telah terjerumus dalam
kebatilan yang nyata.
Asy Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Jika sekiranya sikap memberontak terhadap

pemerintah mendatangkan kejahatan yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i yang saling
menyatu, disertai dengan berbagai kejadian yang nyata, sebagaimana yang nampak dari hasil
perbuatan para ahli bid’ah di setiap zaman. Maka lebih jahat lagi adalah orang-orang yang
keluar dari para ulamanya dengan menjatuhkan hak-hak mereka, dan tidak bersandar kepada
fatwa-fatwa mereka kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu para haraki (Ikhwanul
Muslimin, pen) dan meremehkan kedudukan mereka dalam hal (menyikapi) politik, dan
melontarkan tuduhan kepada mereka dengan istilah “ulama di rumah wudhu”, dan gelar-
gelar semisalnya yang diwarisi oleh para ahlul bid’ah yang hina dari yang hina, yang
ditujukan kepada para ulama salafiyyin yang mulia kepada yang mulia. Dan hal ini berarti
menggugurkan syariat dengan mencerca para saksi dan pembawanya. Dan Allah akan
memenuhi janjinya.” (Madarikun Nazhar, hal. 227-228)

MUHASABAH

Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari keinginan dan
tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat hingga jelas baginya bahwa jika ia
mengamalkannya akan lebih baik daripada meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang
berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya) karena
Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: “Jika jiwa tergerak
untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukannya, maka ia
(mestinya) berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau
tidak? Jika tidak dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia
berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau
(bahkan) meninggalkannya lebih baik?
Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau yang pertama
maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah pendorongnya adalah keinginan
mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pahalanya atau sekedar kedudukan,
pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang kedua maka ia tidak melakukannya walaupun
akan menyampaikan pada keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan
tidak terasa ringan untuk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena seukuran
ringannya dalam beramal untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, seukuran itu pula
beratnya dalam beramal untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, hingga hal itu menjadi sesuatu
yang paling berat buatnya.
Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka ia
berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang-orang yang
membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau tidak ia
dapatkan? Kalau tidak didapati yang membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut.
Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menahan diri untuk berjihad ketika di
Makkah hingga beliau mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia
mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan ditolong. Dan
keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang melewatkan satu perkara dari perkara-
perkara tadi. Jika tidak, maka dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas
keberhasilannya.”
Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya sebelum
beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu dilakukan, dan
tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti melakukannya lebih baik daripada
meninggalkannya. Dan tidak setiap yang demikian itu ia lakukan karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Tidak pula setiap yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia akan
mendapatkan bantuan. Maka jika ia bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang
dilakukan dan apa yang akan ditinggalkan.
Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam: Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah padanya, di
mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.
Hak Allah Subhanahu wa Ta'ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal,
niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berbuat baik
padanya, mengakui nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala padanya, menyaksikan adanya
kekurangan pada dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya,
apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika melakukan ketaatan
itu?
Kedua: muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada
dikerjakan.
Ketiga: muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa. Mengapa ia
melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri akhirat, sehingga ia beruntung?
Atau ia inginkan dengannya dunia dan balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan
keberuntungan itu?
Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut serta memudah-
mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan dirinya kepada kebinasaan. Inilah
kondisi orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya,
membiarkan berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak
bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu maka akan mudah
melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan kesulitan menghindarkan diri dari
dosa. Kalau ia sadari tentu akan tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang
daripada menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.
Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan wajib,
kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka segera menutupinya, mungkin dengan
meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang
terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia
susul dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu
memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan
dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia
muhasabah pada tutur katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau
pada apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang didengar oleh kedua
telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini? Demi siapa engkau melakukannya?
Bagaimana engkau melakukannya?
Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk setiap gerakan dan
kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Yang
pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang
mutaba’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

َﻦ ﻴ ِﻌ َﻤ ْﺟ َأ ْﻢ ُﻬ ﱠﻨ َﻟ َﺄ ْﺴ َﻨ َﻟ َﻚ ﱢﺑ َر َﻮ َﻓ . َنﻮُﻠَﻤْﻌَﻳ اﻮُﻧﺎَآ ﺎﱠﻤَﻋ

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah
mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)

َﻦﻴِﻠَﺳْﺮُﻤْﻟا ﱠﻦ َﻟ َﺄ ْﺴ َﻨ َﻟ َو ْﻢ ِﻬ ْﻴ َﻟ ِإ َﻞ ِﺳ ْر ُأ َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﱠﻦ َﻟ َﺄ ْﺴ َﻨ َﻠ َﻓ . َﻦﻴِﺒِﺋﺎَﻏ ﺎﱠﻨُآ ﺎَﻣَو ٍﻢ ْﻠ ِﻌ ِﺑ ْﻢ ِﻬ ْﻴ َﻠ َﻋ ﱠﻦ ﱠﺼُﻘ َﻨ َﻠ َﻓ

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada
mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). Maka
sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari
mereka).” (Al-A’raf: 6-7)

ﺎ ًﻤ ﻴ ِﻟ َأ ﺎ ًﺑ ا َﺬ َﻋ َﻦ ﻳ ِﺮ ِﻓ ﺎ َﻜ ْﻠ ِﻟ ﱠﺪ َﻋ َأ َو ْﻢ ِﻬ ِﻗ ْﺪ ِﺻ ْﻦ َﻋ َﻦ ﻴ ِﻗ ِد ﺎ ﱠﺼﻟ ا َل َﺄ ْﺴ َﻴ ِﻟ

“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia
menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab: 8)
Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka bagaimana dengan orang-
orang yang berdusta?
Qatadah rahimahullah mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya orang-orang
terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi? Dengan apa kamu sambut para
rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya dan tentang ibadahnya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ِﻢﻴِﻌﱠﻨﻟا ِﻦ َﻋ ٍﺬ ِﺌ َﻣ ْﻮ َﻳ ﱠﻦ ُﻟ َﺄ ْﺴ ُﺘ َﻟ ﱠﻢ ُﺛ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-
megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)
Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti Allah
akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian mendapatkannya di dunia, apa yang
kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian
mendapatkannya? Apa yang kalian perbuat padanya?”
Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala bertanya kepada setiap
hamba tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan berupa nikmat-Nya dan hak-
Nya.
Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:
Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan pada haknya, maka
akan ditanya bagaimana syukurnya.
Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan dibelanjakan bukan pada
haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya sampai pada
pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:

ًﻻ ﻮ ُﺌ ْﺴ َﻣ ُﻪ ْﻨ َﻋ َن َﺎ آ َﻚ ِﺌ َﻟ و ُأ ﱡﻞ ُآ َداَﺆُﻔْﻟاَو َﺮ َﺼَﻴ ْﻟ ا َو َﻊ ْﻤ ﱠﺴ ﻟ ا ﱠن ِإ ٌﻢ ْ ﻠ ِﻋ ِﻪ ِﺑ َﻚ َﻟ َﺲْﻴ َﻟ َﺎ ﻣ ُﻒ ْﻘ َﺗ َﻻ َو

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (Al-Isra: 36)
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya dalam hisab/
perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:

َن ﻮ ُﻠ َﻤ ْﻌ َﺗ ﺎَﻤِﺑ ٌﺮ ﻴ ِﺒ َﺧ َﻪ ﱠﻠ ﻟ ا ﱠن ِإ َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠﺗاَو ٍﺪ َﻐ ِﻟ ْﺖ َﻣ ﱠﺪ َﻗ ﺎَﻣ ٌﺲ ْ ﻔ َﻧ ْﺮ ُﻈ ْﻨ َﺘ ْﻟ َو َﻪ ﱠﻠ ﻟ ا اﻮُﻘﱠﺗا اﻮُﻨَﻣﺁ َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﺎَﻬﱡﻳَأ ﺎَﻳ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat amalan-
amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih yang menyelamatkannya
ataukah amal jelek yang membinasakannya?
Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat sehingga
menjadikannya seolah esok hari.
Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan muhasabah jiwa,
dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan membiarkannya.
(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan, hal. 90-93 dengan sedikit ringkasan oleh Al-Ustadz
Qomar Suaidi, Lc)

Kamis, 25 Juni 2009

WAHAI SAUDARAKU KITA SEKARANG DI ZAMAN YANG PENUH FITNAH UNTUK ITU MINTALAH PERTOLONGAN KEPADA ALLAH SWT AGAR KITA DISELMATKAN DARI FITNAH DAN BERPEGANG TEGUHLAH KEPADA SUNNAH RASULULLAH DAN BERSABARLAH KARENA PEMEGANG SUNNAH DI ZAMAN FITNAH INI SEPERTI ORANG YANG MEMEGANG BARA API DAN YANG PALING PENTING TETAPLAH ISTIQOMAH DALAM KESABARAN KARENA INSYA ALLAH DENGAN KITA ISTIQOMAH ALLAH AKAN MEMBERIKAN BALASAN YANG LEBIH BAIK
AMIIN

Minggu, 21 Juni 2009

Ngalap Berkah Kyai

Orang alim memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Allah. Juga tinggi kedudukannya di
hadapan makhluk-Nya. Semua ini merupakan pemberian dan karunia-Nya. Allah
mengatakan di dalam Al-Qur'an:
ٍتﺎَﺟَرَد َﻢْﻠِﻌْﻟا ا ﻮُﺗْوُأ َﻦْﻳِﺬﱠﻟاَو ْﻢُﻜْﻨِﻣ اْﻮُﻨَﻣﺁ َﻦْﻳِﺬﱠﻟا ُﷲا ِﻊَﻓْﺮَﻳ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
ُ
ﺮْﻴَﺨْﻟا َكِﺪَﻴِﺑ ُءﺎَﺸَﺗ ْﻦَﻣ ﱡلِﺬُﺗَو ُءﺎَﺸَﺗ ْﻦَﻣ ﱡﺰِﻌُﺗَو ُءﺎَﺸَﺗ ْﻦﱠﻤِﻣ َﻚْﻠُﻤْﻟا ُعِﺰْﻨَﺗَو ُءﺎَﺸَﺗ ْﻦَﻣ َﻚْﻠُﻤْﻟا ﻲِﺗْﺆُﺗ ِﻚْﻠُﻤْﻟا َﻚِﻟﺎَﻣ ﱠﻢُﻬﱠﻠ ﻟ ا ِﻞُﻗ
”Katakanlah: 'Hai Tuhan yang memiliki kerajaan, engkau berikan kerajaan kepada siapa
yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari siapa yang engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan.'" (Ali 'Imran: 26)
Kedua ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa yang mengangkat dan menjatuhkan
seseorang adalah Allah subhanahu wata'ala. Oleh karena itu, usaha untuk mengangkat diri
atau mengangkat siapa saja di hadapan orang lain, semuanya dengan kehendak Allah. Tanpa
berharap pun, jika di sisi Allah subhanahu wata'ala seseorang memang pantas diangkat
kedudukannya, niscaya ia akan diangkat.
As-Sa’di di dalam tafsirnya mengatakan: “Perkaranya bukan hanya keinginan-keinginan ahli
kitab (seseorang diangkat atau tidak) dan tidak pula selain mereka. Akan tetapi perkaranya
adalah milik Allah subhanahu wata'ala. Semua Dia yang mengatur, tidak ada seorangpun
yang sanggup menentang atau membantu-Nya dalam pengaturan ini.
Seandainya semua makhluk dari kalangan jin dan manusia dulu maupun sekarang, bahumembahu
dan memuji untuk mengangkatmu, maka mereka tidak akan sanggup kecuali
memang yang telah dikehendaki Allah. Dan kehendak Allah subhanahu wata'ala, tidak sama
dengan kehendak makhluk-Nya. Demikian juga jika seluruh makhluk bersatu-padu ingin
menjatuhkan atau menghinakan seseorang, maka mereka tidak akan sanggup melainkan
dengan kehendak-Nya.
Dan sebaliknya. Dalam pandangan makhluk bisa jadi seseorang pantas untuk diangkat
kedudukannya. Akan tetapi karena dalam pandangan Allah tidak demikian, maka kita tidak
bisa memaksakan keinginan kita kepada Allah subhanahu wata'ala. Dialah Dzat tunggal yang
berbuat sesuai dengan kehendak-Nya."
َنْﻮُﻠَﺌْﺴُﻳ ْﻢُهَو ُﻞَﻌْﻔَﻳ ﺎﱠﻤَﻋ ُﻞَﺌْﺴُﻳ َﻻ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya dan merekalah yang ditanya (apa
yang mereka perbuat).” (Al-Anbiya: 23)
ُﺪْﻳِﺮُﻳ ﺎَﻤِﻟ ٌلﺎ ﱠﻌَﻓ
“(Allah) Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruj: 16)
Barakah Datang dari Allah
Barakah secara bahasa artinya “kebaikan yang banyak dan tetap.” Diambil dari kata “birkah”
yang artinya kumpulan air. Sedangkan menurut syariat yaitu kebaikan yang banyak
diberikan oleh Allah subhanahu wata'ala kepada siapa yang dikehendaki. Dari definisi
keduanya, bisa ditarik kesimpulan bahwa barakah itu datang dari Allah subhanahu wata'ala
sebagai satu bentuk karunia yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah
mengatakan dalam Al-Qur’an:
ُ
ﺮْﻴَﺨْﻟا َكِﺪَﻴِﺑ
“Di tangan Engkaulah segala kebaikan.” (Ali 'Imran: 26)
ًاﺮْﻴِﺜَآ ًاﺮْﻴَﺧ َﻲِﺗْوُأ ْﺪَﻘَﻓ َﺔَﻤْﻜِﺤْﻟا َتْﺆُﻳ ْﻦَﻣَو ُءﺎَﺸَﻳ ْﻦَﻣ َﺔَﻤْﻜِﺤْﻟا ﻲِﺗْﺆُﻳ
“Allah menganugerahkan kefahaman (Al-Hikmah) kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Dan barangsiapa dianugerahi Al-Hikmah itu, maka dia benar-benar telah dianugerahi
kebaikan yang banyak.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
َﻚْﻳَﺪَﻳ ْﻲِﻓ ُﻪﱡﻠ ُآ ُﺮْﻴَﺨْﻟاَو
“Dan kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu.” (Shahih, HR. Muslim no. 771 dari
shahabat 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu)
Tabarruk dalam Agama
Bertabarruk, istilah yang sangat kita kenal ini, maknanya adalah mencari barakah (berkah).
Mencari barakah tidak terlepas dari dua keadaan:
Pertama, mencari barakah dengan perkara yang telah disyariatkan seperti (dengan) Al-
Qur’an. Allah berfirman tentang hal ini:
ٌكَرﺎ َﺒُﻣ َﻚْﻴَﻟِإ ُﻩﺎَﻨْﻟَﺰْﻧَأ ٌبﺎ َﺘِآ
“Al-Qur’an yang Kami telah turunkan kepadamu akan dapat memberikan barakah.”
Bentuk barakah Al-Qur'an di antaranya, barang siapa mengambil apa yang ada di dalamnya
baik berupa perintah maupun larangan, niscaya akan terwujud kemenangan, dan Allah telah
menyelamatkan umat-umat dengan Al-Qur'an ini. Termasuk juga dari barakah Al-Qur'an,
bahwa satu huruf memiliki sepuluh kali lipat kebaikan. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengatakan tentang hal ini:
َﻦْﻳِﺮَﺧﺁ ِﻪِﺑ ُﻊَﻀَﻳَو ًﺎﻣاَﻮْﻗَأ ِبﺎَﺘِﻜْﻟا اَﺬَﻬِﺑ ُﻊَﻓْﺮَﻳ َﷲا ﱠنِإ
”Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum dengan Al-Qur’an ini dan menghinakan
kaum yang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 817 dari shahabat 'Umar bin Al-Khaththab
radhiallahu 'anhu).
Kedua, bertabarruk dengan perkara yang umum dan dapat dirasakan seperti bertabarruk
(mencari kebaikan yang banyak) dengan cara mengajar, berdoa dan sebagainya (misalnya:
bertabarruk dengan ilmu dan dakwah menuju kebaikan). Tentunya ini merupakan wujud
barakah yang karenanya kita mendapatkan kebaikan yang banyak. (Al-Qaulul Mufid, 1/240)
Islam sendiri telah menetapkan adanya barakah pada hal-hal yang telah ditentukan oleh
syariat di mana setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Barakah tidak hanya didapati
oleh murid guru tertentu, kelompok ataupun pengikut tertentu. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda tentang Al-Qur'an:
ِﻪِﺑﺎَﺤْﺻَﻷ ًﺎﻌْﻴَﻔَﺷ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟا َمْﻮَﻳ ﻲِﺗْﺄَﻳ ُﻪﱠﻧِﺈَﻓ َنﺁْﺮُﻘْﻟا اُؤَﺮْﻗا
“Bacalah Al-Qur'an karena sesungguhnya Al-Qur'an itu akan menjadi pemberi syafaat bagi
pembacanya di hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dan shahabat Abu Umamah Al-Bahili
radhiallahu 'anhu)
ِﻪْﻴِﻓ ْﻢُﻜَﻟ َكِرﺎَﺒُﻳ ِﻪِﻴَﻠَﻋ ِﷲا َﻢْﺳا ا وُﺮُآْذا َو ْﻢُﻜِﻣﺎَﻌَﻃ َﻰﻠَﻋ اْﻮُﻌِﻤَﺘْﺟا
“Makanlah kalian dengan berjamaah dan sebutlah Allah, niscaya Allah akan memberkahi
kalian padanya." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3199, Shahih Sunan Ibni Majah no. 3286,
dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 664 dari shahabat Wahsyi
radhiallahu 'anhu).
ٍةَﺮْﻤُﻋ ِﺮْﺟَﺄَآ ُﻪَﻟ َنﺎَآ ًةَﻼَﺻ ِﻪْﻴِﻓ ﱠﻰﻠ َﺻَو َءﺎَﺒُﻗ َﺪِﺠْﺴَﻣ ﻰَﺗَأ ﱠﻢُﺛ ِﻪِﺘْﻴَﺑ ْﻲِﻓ َﺮﱠﻬَﻄَﺗ ْﻦَﻣ
”Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid Quba dan shalat di
dalamnya, maka ganjarannya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Ibnu
Majah, dan telah dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitabnya Shahih Sunan
Ibni Majah, 1/238 no. 1160, dan Ta’liqul Ar-Raghib, 2/138)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang itsmid (celak mata):
ِﺮَﺼَﺒْﻠِﻟ ٌةﺎ َﻔْﺼُﻣ ِرَﺬَﻘْﻠِﻟ ٌﺔَﺒِهْﺬُﻣ ِﺮْﻌﱠﺸﻠِﻟ ٌﺔَﺘَﺒْﻨَﻣ ُﻪﱠﻧِﺈَﻓ ِﺪِﻤْﺛِﻹْﺎِﺑ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ
"Hendaklah kalian memakai itsmid karena sesungguhnya itsmid itu dapat menumbuhkan
bulu mata, menghilangkan kotorannya, dan membersihkan penglihatan." (HR. Al-Bukhari di
dalam At-Tarikh, 4/2/412, dan Ath-Thabrani, 1/12/1, dan Abu Nua'im di dalam Al-Hilyah,
3/178, dan dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah,
2/270 no. 665, dari shahabat 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu)
Masih banyak lagi nash-nash yang menjelaskan adanya kebaikan (berkah) yang banyak pada
makhluk-makhluk Allah yang lain. Dan itu menjadi sandaran bagi kita bahwa syariat
menjelaskan adanya barakah yang dikandungnya.
Macam-Macam Tabarruk
Tabarruk terkadang dijadikan sebagai pembenaran atas amalan tertentu yang sebenarnya
terlarang menurut syariat, bahkan termasuk dari perbuatan syirik besar. Oleh karena itu, kita
perlu mengetahui macam-macam tabarruk, mana yang diperbolehkan dan yang dilarang:
Pertama, tabarruk yang disyariatkan, sebagai berikut:
a. Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku).
Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktekkan
akan terwujud kebaikan dan barakah yang banyak. Tentu selama hal tersebut mengikuti
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Contohnya adalah dzikir kepada Allah dan
membaca Al-Qur'an. Di antara barakah dzikir kepada Allah adalah mendapatkan doa dari
malaikat, sanjungan di hadapan makhluk-Nya dan ampunan dari Allah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Di
antara barakah Al-Qur'an adalah sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia.
Serta sebagai pemberi syafaat kelak di hadapan Allah sebagaimana dalam hadits Abu
Umamah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim.
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan
mengajarkannya. Di antara barakahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat.
Kemudian shalat secara berjamaah, yang barakahnya adalah dihapuskannya dosa-dosa dan
dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya makan berjamaah, makan dari pinggir nampan,
menjilat lidah dan menakar makanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang
shahih.
b. Tabarruk dengan tempat
Memang ada sejumlah tempat yang oleh Allah dijadikan tempat yang mengandung banyak
kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Contohnya adalah masjid-masjid, di
mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri'tikaf, menghadiri
majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukan dengan cara mengusap-ngusap
tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
Contoh lain bahwa Allah melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan barakah kota Makkah,
Madinah, Syam, Masjid Al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid Al-Aqsha. Mencari barakah
padanya bukan dengan menziarahi semata, mencium, atau mengusap tanahnya, namun
dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
c. Tabarruk dengan waktu
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung
kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia
tersebut dengan berpuasa yang akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orangorang
yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan
Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Mencari barakah pada
waktu-waktu tersebut adalah dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam.
Apa-apa yang disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan yang sudah jelas nashnya,
mencari barakahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan tidak keluar
dari pensyariatan tersebut. (At-Tabarruk Al-Masyru’, Al-'Ulyani, hal. 33-50)
Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini
adalah:
a. Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat baik dengan cara
mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
b. Pergi ke kuburan dengan tujuan ziarah dan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa
berdoa di sisinya lebih utama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha Ash-
Shirathil Mustaqim (hal. 433) mengatakan, “Bila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi
atau orang-orang shalih dengan tujuan untuk mencari barakah, maka ini merupakan bentuk
penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam
agama yang tidak diizinkan oleh Allah."
c. Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juga (hal. 424-
426) contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, berdoa
ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, atau ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa
padanya. Atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat
(tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang
menghidupkan peninggalan-peninggalan nubuwwah seperti jalan yang dilalui oleh beliau
ketika berhijrah, atau tempat tenda Ummu Abd (atau Ummu Ma'bad ???) atau yang
sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara demikian dapat mengarah pada perbuatan
mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan
jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
d. Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan
acara-acara serta berbagai bentuk ibadah lainnya. Seperti menyambut hari kelahiran
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu
Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada hari-hari di atas termasuk perbuatan bid’ah
dalam agama.
e. Bertabarruk dengan orang-orang shalih, peninggalan-peninggalan mereka seperti
tongkatnya, air ludahnya, rambutnya, keringatnya, pakaian-pakaiannya, tempat tidurnya dan
lain sebagainya.
(Ta’liq Al-Qaul Al-Mufid, 1/246-250)
Tabarruk Orang-Orang Jahiliyyah
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
ىﱠﺰُﻌْﻟاَو َتﱠﻼﻟا ُﻢُﺘْﻳَأَﺮَﻓَأ . ىَﺮْﺧُﻷْا َﺔَﺜِﻟﺎﱠﺜﻟا َةﺎَﻨَﻣَو
“Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik menganggap) Al-Lata dan Al-‘Uzza
dan Manat yang ketiga. Yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan
Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Tiga sesembahan di atas merupakan tuhan-tuhan yang besar di kalangan mereka. Tuhantuhan
itulah tempat mereka memuja dan memuji, serta bertabarruk kepada-Nya. Lalu apakah
Al-Lata, Al-‘Uzza, dan Manat itu?
Adapun Al-Lata menurut Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/253), adalah sebuah batu besar
yang terukir dan berwarna putih di mana di atasnya terdapat sebuah rumah. Memiliki
kelambu dan juru kunci di sekelilingnya, serta terdapat halaman. Al-Lata memiliki
kedudukan yang agung di sisi Bani Tsaqif, penduduk Thaif, di mana mereka sangat bangga
dengannya di negeri Arab setelah Quraisy. Hakekat Al-Lata disebutkan oleh Ibnu 'Abbas,
Mujahid, dan Rabi’ bin Anas bahwa dia adalah seseorang yang mengadon tepung untuk
orang-orang yang melaksanakan haji di masa jahiliyyah. Ketika meninggal, orang-orang
i’tikaf di kuburannya untuk kemudian menyembahnya.
Adapun Al-'Uzza menurut Ibnu Jarir adalah sebuah pohon yang di atasnya terdapat
bangunan yang memiliki kelambu. Benda yang sangat diagungkan orang-orang Quraisy ini
terletak di Nakhlah, yakni suatu tempat di antara Makkah dan Thaif.
Adapun Manat adalah sesembahan yang berada di Musyallal, tempat antara Makkah dan
Madinah, di mana suku Khuza’ah, Aus, dan Khazraj mengagungkan dan memakaikan
pakaian ihram padanya.
Di antara bentuk tabarruk mereka adalah apa yang diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsi.
Beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuju
Hunain dan kami baru pindah dari agama kufur (menuju Islam). Orang-orang musyrik
memiliki sidrah (sebuah pohon) tempat mereka berhenti dan beristirahat. Dan mereka juga
menggantungkan pedang-pedang mereka (untuk bertabarruk dengannya). Pohon itu disebut
Dzatu Anwath. (Kata Abu Waqid) kami kemudian melewati sebuah sidrah kemudian
mengatakan: 'Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka
(orang-orang musyrik) memiliki Dzatu Anwath.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menjawab, 'Allahu Akbar, sesungguhnya apa yang kalian katakan ini merupakan
jalan-jalan (orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seperti
ucapan bani Israil kepada Musa: 'Buatkanlah kami satu sesembahan sebagaimana mereka
memiliki banyak sesembahan'. (Musa) berkata: 'Sesungguhnya kalian adalah kaum yang
jahil.' (Rasulullah berkata: 'Kalian benar-benar akan mengikuti langkah-langkah orang
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com
sebelum kalian)'." (HR. At-Tirmidzi no. 2181, beliau berkata: hadits hasan shahih).
Bentuk tabarruk mereka adalah mengagungkan pohon tersebut, beri’tikaf padanya lalu
mengharapkan kebaikan darinya.
Tabarruk kepada Sang Guru, Benarkah?
Bagaimana dengan bertabarruk kepada kanjeng guru? Apakah hal ini dibenarkan?
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tabarruk yang diperbolehkan adalah apa yang telah
dijelaskan kebolehannya oleh syariat. Adapun tabarruk kepada zat orang shalih atau
peninggalan-peninggalannya, tidak ada syariatnya sama sekali. Karena, hal tersebut
termasuk bentuk tabarruk yang batil.
Lalu bagaimana dengan perbuatan para shahabat terhadap diri Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam di mana mereka berebutan mengambil ludah beliau, air wudhu beliau, bahkan di
antara mereka ada yang mengumpulkan keringat dan rambut beliau?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul Majid (1/264), syarah beliau terhadap
Kitab Tauhid, menjawab syubhat ini, dengan ucapan: “Adapun yang didengungkan oleh
orang-orang sekarang ini bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang
shalih, maka hal demikian terlarang dari beberapa sisi:
1. Generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya tidak pernah
melakukannya kepada selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tidak di masa hidup
beliau ataupun setelah meninggalnya.
2. Bila yang demikian itu adalah baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya.
3. Seutama-utama shahabat adalah Abu Bakr, kemudian 'Umar, kemudian 'Utsman dan 'Ali
radhiallahu 'anhum. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahkan telah mempersaksikan
mereka menjadi penghuni surga. Namun tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat atau
tabi’in yang melakukan amalan tersebut (yaitu bertabarruk) kepada tokoh-tokoh shahabat itu.
Begitu juga tidak pernah dilakukan oleh generasi tabi’in kepada ahli ilmu dan ulama di masa
mereka.
4. Tidak boleh mengqiyaskan (menyamakan) kedudukan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dengan seorangpun dari umat ini.
5. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak boleh
orang lain masuk ikut menyertai beliau dalam kekhususan itu.
6. Melarang yang demikian ini dimaksudkan sebagai cara untuk menutup pintu-pintu
kesyirikan.
Seruan
Wahai saudaraku se-Islam, kembalilah kepada kemurnian agama ini, tinggalkan agama
turun-temurun dan agama mengekor. Ketahuilah bahwa seorang kiai bukanlah agama, dan
agama bukanlah kiai. Ucapan dan perbuatan mereka berikut keyakinan yang mereka miliki
harus dicocokkan dengan agama, sesuai atau tidak? Oleh karena itu, karena mereka bukan
agama sebagai sumber kebenaran, namun hanya manusia biasa tempat kekurangan dan
kesalahan, maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk bertabarruk dengan air liur mereka,
keringat mereka, bekas minum mereka, dan sebagainya. Wallahu a'lam.

Ikhlas Tempat Persinggahan Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in

Pengantar:

Dalam kitab Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menyebutkan tempat-tempat persinggahan Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in diantaranya adalah ikhlas. Berikut ini saya kutipkan beberapa penggal alenia yang tercantum dalam pasal ini. Bagi yang menginginkan uraian lebih lanjut saya persilahkan membaca langsung dari sumbernya. (ALS)

Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah berfirman di dalam Al-Qur'an, (artinya):
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (Al-Bayyinah: 5)
"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3)
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (Al-Mulk: 2)

Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar."
Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu ?"
Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah." Kemudian ia membaca ayat, (artinya): "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?" (An-Nisa': 125)
Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.

Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqan: 23)
Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Sa'ad bin Abi Waqqash, "Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajad dan ketinggian karenanya."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, (artinya):
"Tiga perkara, yang hati orang mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama'ah orang-orang Muslim karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka."
(HR. At-Thirmidzi dan Ahmad)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya', berperang karena keberanian dan berperang karena kesetiaan, manakah diantaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, "Orang yang berperang agar kalimat Allah lah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.
Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari' Al-Qur'an, mujahid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, "Fulan adalah qari', fulan adalah pemberani, Fulan adalah orang yang bershadaqah", yang amal-amal mereka tidak ikhlas karena Allah.

Di dalam hadits qudsi yang shahih disebutkan; "Allah berfirman, 'Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukan, dan Aku terbebas darinya'." (HR. Muslim)
Di dalam hadits lain disebutkan; "Allah berfirman pada hari kiamat, 'Pergilah lalu ambillah pahalamu dari orang yang amalanmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami'."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian." (HR. Muslim)

Banyak difinisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendirikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja. Orang yang ikhlas tidak riya' dan orang yang shidq tidak ujub. Ikhlas tidak bisa sempurna kecuali shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.

Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya', Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya."
Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat sehingga dia menulis-nya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya."
Yusuf bin Al-Husain berkata. "Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain."

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran." Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan sanjungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun."

Malaikat ku....

“Malaikat Hidupku”

Teringat dalam alam bawah sadarku, saat diriku masih di surga dan bercengkrama dengan Rabb-ku….

Ketakutan yang membelengguku, saat Dia akan mengirimku ke Bumi…

“Ya Rabb, kenapa aku harus turun ke Bumi? Aku sudah merasa senang disini bersama-Mu..”Tanyaku

Rabb-ku menjawab,”Agar kamu bisa belajar banyak hal”.

“Tapi disana banyak orang jahat, bagaimana kalau aku celaka?”

“Kamu akan dilindungi oleh malaikat yang ku kirimkan untukmu”.

“Tapi aku tidak tahu bahasa para manusia disana, bagaimana aku akn berkomunikasi dengan mereka?”

“Malaikatmu yang akan mengajarimu”.

“Bagaimana kalau saat aku sedih dan terluka hatiku? Siapa yang akan menghiburku?”

“Malaikatmu yang akan menghiburmu dan buatmu bahagia”.

“Apakah dia selalu disisiku?”

“Tidak…walau dia tidak selalu disisimu, tapi dia akan selalu ada di hatimu”.

Aku tersadar , dan termenung…

“Sungguh baik sekali Malaikat yang dikirimkan oleh Rabb-ku hanya untukku ini” Batinku.

Dan baru ku sadari Malaikat HIdupku itu adalah ibuku…

Ayo Sholat...sebelum kamu di sholati..

“Arti Penting Sebuah SHOLAT”

Bagi kita, orang yang istilahnya belum ‘bau tanah’ alias masih muda, sering mengabaikan SHOLAT (Hayo ngaku!! He3x), kadang kita suka meninggalkannya dengan alasan yang nggak jelas atau menunda-nundanya..

Sobat muslim semua tau nggak? SHOLAT itu merupakan salah satu sarana komunikasi kita dengan Yang Menciptakan kita, mengadu kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya..

Kepada siapa lagi kita akan minta pertolongan saat semuanya tidak bisa menolong kita kalau bukan kepada-Nya..iya kan? (ya…iyalah He3x).

Seperti yang kita tahu sendiri, bahwa SHOLAT adalah perintah langsung dari Allah SWT melalui Rasul kita Muhamad SAW. Saat beliau mengalami peristiwa Israj Mi’raj. Bayangkan!! Sang Pencipta kita! Yang Maha Segalanya yang memerintahkannya langsung!.

So , jangan sampai ditinggalkan ya? Sholat Fardhunya, sisihkan sedikit waktumu untuk menyembah-Nya. Bukan hanya menyembah-Nya, tapi mengadu kepada-Nya, minta pertolongan-Nya…

Semoga doa-doa kita di kabulkan, Amien…

One More Time

Kesempatan sekali lagi

jika aku merasa kalah akan hal ini, akankan jiwaku dimaafkan
Betapa sakit perasaanku saat tak bisa melihatmu lagi
sekali lagi, kumohon jangan berubah
sekali lagi, disaat-saat kita bersama

Ketika jalan kita terpisah diantara jalur yang lain, aku adalah orang yang pertama kali berlari
hal itu menunjukan betapa egoisnya diriku
kesempatan sekali lagi, langkahku terhenti oleh kenangan
kesempatan sekali lagi, membuatku tak bisa beranjak ketempat lain

Aku selalu mencari tempat dimana kau berada
disamping rumah, ditempat lain, dan dari lorong jendela
Sungguh aku sadar bahwa kau tak ada disini
jika keinginanku dikabulkan,
ku mohon bawa aku bersamamu saat ini, akan kupertaruhkan segalanya untuk memelukmu dengan erat
untuk menunjukan padamu bahwa tak ada tempat lain selain dirimu

Siapapun harus merasa baik hanya untuk menghilangkan kesendirianku
karena bintang-bintang di langit malam nampak seperti jatuh, aku tidak bisa berbohong pada diri sendiri
sekali lagi, kumohon jangan berubah
sekali lagi, disaat-saat kita bersama

Aku selalu mencari tempat dimana kau berada
bahkan dipersimpangan dan dalam mimpi
Sungguh aku sadar bahwa kau tak ada disini
Jika keajaiban terjadi, sungguh aku ingin kau ada disini
satu pagi baru, aku sendiri
dan akan ku katakan "Aku mencintaimu"

Aku masih ingat memori di musim panas
Tapi aku terpukul ketika memori itu hilang

Aku selalu mencari tempat dimana kau berada
Dibawah kota dijalan Sakuragi
walaupun begitu aku tau kau tak kan datang kemari
jika keinginanku dikabulkan
kumohon biarkan aku memelukmu dengan sangat erat saat ini
satu pagi baru, aku sendiri
dan aku tak bisa mengatakan bahwa "Aku mencintaimu"

Aku selalu mencari tempat dimana ada kepingan-kepingan dari dirimu
disudut toko dan disudut surat kabar
Sungguh aku sadar bahwa kau tak akan ada disini
Jika keajaiban terjadi, dan ingin kutunjukan padamu saat ini
satu pagi baru, aku sendiri
dan aku tak bisa mengatakan bahwa "Aku mencintaimu"

Selalu ada tempat yang berakhir dengan senyumanmu
di persimpangan jalan kereta api di terotoar jalan
Sungguh aku sadar bahwa kau tak akan ada disini
jika hudup bisa terulang kembali, aku akan pergi ketempat dimana kau berada, berulang kali
tak ada keinginan lain selain dirimu
tak ada hal lain yang lebih penting dibandingkan dirimu.


Menipu Tuhan

Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu

mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit.

Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu

menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika

ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang

sama. Orang pertama mulai bertanya,

"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau

orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang pertama.

"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.

Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih

utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan

dosa-dosa kecil?"

"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang kedua.

"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan

dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban

Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang iebih

utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan

dosa-dosa kecil?"

"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang ketiga.

"Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa

hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas.

Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.

Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.

"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang

berbeda?"

"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan

hati."

"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat

bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya

menggunakan mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.

"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang

melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia

berpengetahuan." jawab Abu Nawas.

"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.

"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap

mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi

orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan

dengan KeMaha-Besaran Allah."

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa

menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.

"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?"

"Mungkin." jawab Abu Nawas.

"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.

"Dengan merayuNya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas

"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta murid Abu Nawas

"Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahimi, fahabli

taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.

Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi

penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh

sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya

Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Sabtu, 20 Juni 2009

KALIWUNGU, KENDAL

Kaliwungu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Semarang, tepatnya di sebelah barat Kota Semarang, Indonesia.

Kaliwungu terkenal dengan sebutan kota santri dikarenakan di kecamatan tersebut terdapat puluhan pondok pesantren. Pemberian nama Kaliwungu diambil dari peristiwa seorang guru (Sunan Katong) dan muridnya (Pakuwojo) yang berkelahi di dekat sungai karena perbedaan prinsip. Dari pertengkaran itu terjadi pertumpahan darah yang menurut cerita, Sunan Katong berdarah biru dan Pakuwojo berdarah merah, keduanya wafat dalam perkelahian itu dan darahnya mengalir di sungai sehingga berubah menjadi ungu.

Syawalan


pengunjung sudah berbondong-bondong tiba ke pusat keramaian yang dimeriahkan ratusan pedagang mremo serta puluhan penjaja hiburan -dream molen, kuda putar dan sebagainya.

Puluhan warga, kemarin terlihat hilir-mudik di pusat syawalan. Sebagian dari mereka tampak berombongan berjalan kaki, dan sejumlah lainnya datang ke tempat itu dengan diangkut puluhan mobil bak terbuka dan truk.

Syawalan Kaliwungu adalah gabungan wisata religius dan wisata modern. Sejumlah pengunjung datang ke tempat itu hanya sekedar untuk berbelanja pakaian ataupun mencari hiburan.

Di sisi lain, banyak pengunjung yang datang untuk tujuan utama -berziarah pada sejumlah makam tokoh penyebar agama Islam di pemakaman Desa Protomulyo (kini masuk wilayah Kecamatan Kaliwungu Selatan-Red). Seperti, makam Kiai Guru atau Kiai Asy'ari, Sunan Katong, Kiai Mustofa, dan Wali Sya'fak.