Bom Syahid, Adakah Dalam Islam ?
Judul di atas adalah salah satu pembahasan dalam buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra, di mana penulis bertutur setelahnya, “Tulisan ini bukan makalah, tetapi sekadar tanggapan terhadap beberapa komentar berkaitan bom syahid. Ada yang menganggap bahwa urusan ini masih ikhtilaf, ada yang berpendapat bahwa hal ini adalah masyru’. Ada yang mengatakan bid’ah, bahkan –ini pendapat yang paling naif- ada yang mengatakan haram dan menganggapnya sebagai bunuh diri alias konyol.” [1]
Kemudian penulis menjelaskan, “Yusuf Qardhawi membolehkan untuk situasi seperti di Palestina. Sementara Dr. Nawaf Hail At-Takrary tidak membatasi hanya untuk Palestina. Ja’far Umar Thalib menganggap bom syahid (istisyhâd) WTC sebagai bid’ah. Sebagian mufti Saudi Arabia yang dapat dipastikan sebagai qâ’idûn (tidak berjihad) ada yang menganggap haram, diikuti segelintir salafy irja’i di Indonesia yang juga menganggap haram. Syaikh Al-AlBany berpendapat, “tergantung keputusan amir.” Bingung?......” [2]
Kemudian halaman-halaman berikutnya, penulis menyebutkan dalil-dalil yang ia pegang dalam masalah ini dan menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa operasi jibaku yang kini lebih dikenal dengan istilah istimata (mencari mati) atau istisyhâd (mencari syahid) adalah masyru’ (disyari’atkan). Bahkan menurut Imam Ibnu Nuhas rahimahullah, sangat dianjurkan.” [3]
Dan di sela-sela bantahannya terhadap Yusuf Al-Qaradhawy penulis menyatakan keberlakuan bom syahid secara umum, “Pembatasan bom syahid hanya boleh di Palestina, atau semisal, menunjukkan bahwa Yusuf Qardhawi kurang memahami atau menyadari hakekat Perang Salib yang bersifat global. Di mana, dalam keadaan umat Islam terjajah, setiap jengkal tanah di bumi ini dapat dikatakan sebagai tempat konflik. Dengan sendirinya segala syari’at perang dalam Islam dapat diaplikasikan sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan yang ada.” [4]
Tanggapan :
Tidak perlu bingung menghadapi masalah ini. Kita bersyukur kepada Allah yang telah menyempurnakan agama sehingga siapa yang berjalan di atas tuntunan yang benar dan lurus; Al-Qur`ân dan As-Sunnah, maka akan jelas baginya masalah ini. Dan hal ini sangat nampak pada para ulama kita di masa ini, tidak ada yang samar bagi mereka dalam hal ini, dan fatwa-fatwa mereka yang kami akan sebutkan menggambarkan kedalaman ilmu agama mereka dari sumber yang sama; Al-Qur`ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf.
Perlu diketahui bahwa keadaan seorang dari pasukan kaum muslimin yang sengaja terjun ke tengah barisan musuh yang sangat banyak, dan memerangi mereka dengan seorang diri adalah hal telah dibahas oleh para ulama kita dalam buku-buku fiqih.
Berikut ini keterangan-keterangan para ulama dalam masalah ini,
Berkata An-Nawawy rahimahullâh, “Pada hadits, bolehnya inghimâs (jibaku) di tengah kaum kuffar dan sengaja menghadapi mereka guna mendapatkan kesyahidan. Hal tersebut adalah boleh, tidaklah makruh menurut kebanyakan ulama.” [5]
Berkata Ibnu ‘Abidin, “Tidak apa-apa seorang dengan sendirinya menyerang musuh –walaupun ia menyangka dirinya akan terbunuh- bila ia melakukan sesuatu berupa membunuh, melukai dan mengalahkan (musuh). Telah dinukil hal tersebut dari sekelompok shahabat di depan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam pada perang Uhud dan beliau memuji mereka akan hal tersebut. Adapun bila ia mengetahui bahwa hal tersebut tidak membuat nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap (musuh) maka tidaklah halal baginya untuk menyerang mereka, karena tidaklah tercapai dengan penyerangan itu suatu kejayaan agama.” [6]
Berkata Abu Hâmid Al-Ghazâly (w. 505 H), “Tidak ada perbedaan (di kalangan ulama) bahwa seorang muslim yang sendiri boleh untuk menyerang barisan kaum kuffar dan memerangi (mereka) walaupun ia mengetahui ia akan terbunuh, sebagaimana juga dibolehkan untuk memerangi orang-orang kafir hingga ia terbunuh, hal tersebut termasuk amar ma’rûf nahi mungkar. Akan tetapi bila ia mengetahui bahwa tidak ada nikâyah terhadap kaum kuffar dengan serangannya, seperti orang buta yang melemparkan dirinya di tengah barisan (kuffar), atau orang yang lemah, maka hal tersebut adalah haram, masuk dalam keumuman ayat kehancuran [7]. Hal tersebut hanyalah boleh dilaksanakan bila ia mengetahui bahwa ia tidak akan terbunuh hingga ia membunuh, atau ia mengetahui bahwa hati-hati musuh akan patah menyaksikan keberaniannya dan mereka akan meyakini pada seluruh kaum muslimin tidak peduli (mati) lagi dan mereka cinta mati syahid di jalan Allah sehingga patah kekuatan (kuffar) dengan hal tersebut.” [8]
Dan As-Sarkhasy dari ulama Hanafiyah berkata, “Andaikata seseorang menyerang jumlah besar dari kaum musyrikin, bila ia mengetahui bahwa ia akan menghantam sebagian mereka dan membuat nikâyah pada mereka, maka tidak mengapa dengan hal tersebut. Dan bila ia mengetahui bahwa ia ada nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap mereka, maka tidak pantas ia melakukan hal tersebut.” [9]
Dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibâny (w. 189 H) mengatakan, “Andaikata seorang lelaki menyerang seribu orang dan dia sendiri, maka tidak mengapa dengan hal tersebut bila tamak untuk selamat dan ada nikâyah (untuk musuh). Apabila ia tidak tamak untuk selamat dan tidak nikâyah (untuk musuh), maka saya menganggap makruh [10] hal tersebut karena ia telah menghadapkan dirinya pada kerugian tanpa ada manfaat bagi kaum muslimin. Sepantasnyalah hal ini dilakukan oleh seorang yang tamak untuk selamat atau memperoleh manfaat bagi kaum muslimin. Apabila ia tidak tamak untuk selamat dan tidak ada nikâyah (terhadap musuh), namun hal tersebut membuat kaum muslimin berani, mereka melakukan semisal dengan apa yang ia lakukan sehingga mereka memerangi dan membuat nikâyah pada musuh, maka tidak mengapa dengan hal tersebut insya Allah. Karena andaikata ia tamak untuk membuat nikâyah pada musuh dan tidak tamak untuk selamat, saya memandang tidak apa-apa ia menyerang mereka. Demikian pula bila ia tamak agar selainnya membuat nikâyah pada musuh lantaran serangannya, maka tidak mengapa dengan hal tersebut dan saya berharap ia mendapatkan pahala. Yang makruh bagi ia adalah bila sama sekali tidak ada sisi manfaat padanya. Dan apabila ia tidak tamak dalam keselamatan dan tidak ada nikâyah, numun hal tersebut membuat musuh takut, maka tidak mengapa dengan hal tersebut, karena ia adalah nikâyah yang paling afdhol dan padanya ada manfaat.” [11]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Karena itu Imam Empat membolehkan seorang muslim berjibaku pada barisan kaum kuffar –walaupun berat dugaan bahwa mereka akan membunuhnya- bila pada hal tersebut ada kemashlahatan bagi kaum muslimin.” [12]
Dan beliau juga berkata, “Disunnahkan berjibaku di tengah musuh untuk (mendapatkan) manfaat bagi kaum muslimin, bila tidak (ada manfaat), maka hal tersebut terlarang dan tergolong dari kebinasaan.” [13]
Berkata Ibnu Al-‘Araby (w. 543 H), “Ada silang pendapat para ulama tentang seorang lelaki yang menceburkan diri dalam peperangan dan menyerang musuh sedang ia sendiri; berkata Al-Qâsim bin Mukhaimarah, Al-Qâsim bin Muhammad dan ‘Abdul Mâlik dari ulama kami (ulama Mâlikiyah, -pen.) bahwa tidak mengapa seorang menyerang pasukan besar sendirian, apabila padanya ada kekuatan dan niatnya ikhlas karena Allah. Kalau ia tidak memiliki kekuatan maka hal tersebut termasuk kebinasaan. Dan ada yang berkata; apabila ia mencari kesyahidan dan ikhlash niatnya maka hendaknya ia menyerang karena maksudnya adalah satu diantara mereka…” [14]
Kemudian Ibnu Al-‘Araby menguatkan akan “bolehnya hal tersebut, karena padanya ada empat sisi,
Satu : Mencari kesyahidan.
Dua : Adanya nikâyah (bagi musuh).
Tiga : Membuat kaum muslimin berani terhadap mereka.
Empat : Melemahkan hati-hati (musuh) ketika melihat bahwa ini adalah perbuatan satu orang, bagaimana bila seluruh mereka?” [15]
Berkata Al-Hâfizh Ibnu Hajar, “Adapun masalah serangan satu orang terhadap musuh dengan jumlah yang banyak, jumhur ulama menegaskan bahwa hal tersebut apabila karena keberaniannya yang luar bisa dan ia menyangka akan menggetarkan musuh, atau akan membuat kaum muslimin semakin berani, atau yang serupa dengannya dari maksud-maksud yang benar, maka hal tersebut adalah perkara yang baik. Adapun kalau semata tanpa perhitungan, maka (hal tersebut) adalah terlarang apalagi bila menyebabkan kelemahan di tengah kaum muslimin. Wallâhu A’lam.” [16]
Bila keterangan-keterangan di atas digandengkan dengan penjelasan-penjelasan yang telah lalu berkaitan dengan jihad, maka akan terpetik darinya kesimpulan bahwa jibaku di tengah barisan musuh disyaratkan beberapa syarat,
Satu : Ikhlas karena Allah, mengharap mati syahid dengannya.
Keluar dari ini, siapa yang melakukan inghimâs (jibaku) tersebut bukan karena Allah, melainkan karena kesempitan hidup, putus asa, frustasi, mengharapkan sanjungan manusia dan sebagainya.
Dua : Pada aksi in-ghimâs itu ada nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap musuh.
Bila aksi inghimâs tersebut tidak memberikan nikâyah kepada musuh, bahkan membuat musuh semakin beringas dan keras terhadap kaum muslimin, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Tiga : Ada mashlahat dan manfaat bagi kaum muslimin.
Bila tidak ada manfaat dan kemashlahatannya maka hal tersebut adalah haram, sebab jiwa seorang muslim terhormat, tidak boleh dikorbankan kecuali dalam hal-hal yang kemashlahatannya dan bernilai besar untuk dirinya, agama dan kaum muslimin.
Menentukan syarat kedua dan ketiga, itu kembali kepada Ahlul Ilmi dan orang-orang yang berkompoten dalam hal tersebut. Dan berangkat dari dua syarat ini, akan datang fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya akan salahnya beberapa aksi yang terjadi di Palestina yang lepas dari dua syarat ini.
Empat : Aksi tersebut hanyalah dalam sebuah jihad yang syar’iy menurut syari’at Islam.
Dan jihad syar’iy terbagi dua; Jihad Hujûm dan Jihad Daf’iy. Pada Jihad Hujûm disyaratkan izin dari pemimpin, dan pada Jihad Daf’iy tidak disyaratkan, namun dengan rincian yang telah berlalu dalam pembahasan jihad.
Lima : Hal tersebut terjadi di daerah perang.
Keluar dari ini, aksi yang dilakukan pada tempat yang aman, apalagi melanggar etika-etika syari’at berkaitan dengan kafir-kafir yang tidak boleh dibunuh dalam syari’at Islam.
Syarat keempat dan kelima ini karena seluruh pembahasan yang disebutkan oleh para ulama berkaitan dengan inghimâs (jibaku) hanyalah dalam rangkaian Jihad dan hanya di front pertempuran.
Enam : Ia masih mengharapkan keselamatan –walaupun kemungkinannya kecil-.
Keluar darinya, siapa yang melakukannya dengan sengaja membunuh dirinya guna membunuh yang lainnya, seperti yang terjadi dalam aksi-aksi yang dinamakan oleh Imam Samudra sebagai “Bom Syahid”. Sebab orang yang melakukannya dari niat awalnya adalah untuk membunuh dirinya, tidak mengharapkan keselamatan.
Dan perlu kami ingatkan di sini, bahwa ada banyak kalangan yang telah menulis pembenaran dalam masalah aksi-aksi bom bunuh diri yang mereka namakan sebagai “Amaliyyât Istisyhâdiyyah (amalan-amalan kesyahidan)”, dan uraian penulis dalam bukunya “Aku Melawan Teroris” adalah ringkasan dari tulisan-tulisan itu . [17]
Dan apa yang kami simpulkan di atas adalah bantahan global terhadap tulisan-tulisan tersebut.
Kemudian berikut ini beberapa catatan untuk penulis terhadap dalil-dalil yang ia bawakan, dan hal ini sekaligus bantahan lebih terperinci untuk tulisan-tulisan yang merupakan rujukan penulis.
Dalil Pertama
“Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushanif-nya [18] mengeluarkan sebuah riwayat, “Salah satu batalyon dari beberapa batalyon kafir dari Timur telah tiba. Seorang lelaki dari kalangan Anshar menyongsong kedatangan mereka. Ia berjibaku menerobos batalyon kafir tersebut dan mengobrak-abrik barisan mereka. Ia kemudian keluar dari barisan yang telah rusak tersebut lalu mengulangi aksi jibakunya dua sampai tiga kali. Peristiwa ini oleh Sa’ad bin Hisyam Al-Anshari, disampaikan kepada Abu Hurairah ra. Menanggapi hal ini, Abu Hurairah membaca ayat, “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya, demi mencari ridha Allah” (Al-Baqarah: 207).” [19]
Tanggapan Dalil Pertama :
Satu : Riwayat di atas, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/216 (cet. Maktabah Ar-Rusyd) dan sanadnya memang shohîh sampai kepada Ibnu Sirin. Namun tidak dijelaskan dari riwayat, apakah Ibnu Sirin berjumpa dengan Sa’ad bin Hisyam atau tidak, dan apakah ia menghadiri peristiwa tersebut atau tidak.
Dua : Aksi jibaku yang tersebut dalam riwayat, tidak ada pendalilan bagi penulis tentang bom syahid yang dia pandang berlaku secara umum. Sebab orang tersebut dalam riwayat tidaklah membunuh dirinya, akan tetapi ia berperang menghadapi musuh dengan segala kemampuan yang ia miliki. Kemudian hal tersebut terjadi di pertemuan dua pasukan; pasukan muslim dan pasukan kafir, berbeda dengan penulis yang membenarkan aksi-aksi peledakan dan bom bunuh diri di tempat yang aman dan tidak ada konflik.
Tiga : Aksi jibaku dalam riwayat di atas sangat jelas mashlahatnya dan memberi nikâyah kepada musuh. Berbeda dengan aksi-aksi bom bunuh diri yang banyak terjadi pada masa ini, tidaklah membuat musuh jera, bahkan justru semakin menambah luka kaum muslimin dan semakin membuka peluang kepada orang-orang kafir untuk menuangkan kemarahan dan kedengkian mereka terhadap kaum muslimin.
Dalil Kedua
“Imam At-Tirmidzy, Abu Daud, Al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur Aslam bin Yazid At-Tujaibi [20] –Abu Imran- katanya; “Kami berada di Romawi. Pasukan Romawi dengan bilangan raksasa menyerang kami. Pasukan muslim dengan jumlah sebanding atau lebih menghadapi mereka. Pasukan dari Mesir dipimpin oleh Uqbah bin Amir. Sedangkan pasukan induk (al-jumu’ah) dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Tiba-tiba seorang prajurit muslim melesat menembus berikade Romawi. Melihat kejadian itu, orang-orang berteriak; “Subhânallah, Ia menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan!”
Tetapi kemudian Abu Ayyub Al-Anshari ra membantah teriakan orang-orang tersebut. Ia berkata, “Wahai kaum muslimin, kalian telah menta’wilkan (memalingkan pengertian) [21] ayat tersebut. Sebenarnya ayat yang kalian maksud itu turun kepada kami golongan Anshar. Saat itu Allah telah memenangkan Islam. Jumlah kaum muslimin sudah banyak pula. Lalu, tanpa sepengetahuan Rasulullâh, secara sembunyi-sembunyi antar kami berkata, “Ekonomi (harta) kita telah terbengkalai, sedangkan Allah telah memenangkan Islam, pengikutnya telah banyak pula. Alangkah baiknya sekiranya kita kembali mengurusi ekonomi dan merehabilitasinya!” Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad saw, “Dan berinfaklah kalian di jalan Allah, dan janganlah kalian menjerumuskan diri dalam kebinasaan” (Al-Baqarah: 195)
Jadi, yang dimaksud dengan kebinasaan adalah “mengurusi masalah ekonomi, memperbaikinya dan meninggalkan perang”. Abu Ayub Al-Anshari ra. tetap bertahan pada posisinya sebagai personal tempur fî-sabîlillâh, sehingga ia disemayamkan di bumi Romawi.” [22]
Tanggapan Dalil Kedua :
Satu : Hadits di atas dikeluarkan oleh Ath-Thoyâlisy no. 599, Abu Dâud no. 2512, At-Tirmidzy no. 2978, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 11028-11029, Ibnu Hibbân sebagaimana dalam Al-Ihsân no. 4711, Al-Hâkim 2/84-85, 2/275, dan Al-Baihaqy 5/45, 9/99. Dishohîhkan oleh Al-Albâny dalam Ash-Shohîhah no. 13 dan Al-Wâdi’iy dalam Ash-Shohîhah Al-Musnad Min Asbâb An-Nuzûl hal. 34.
Dua : Hadits di atas juga tidak ada dalil bagi penulis tentang bolehnya melakukan aksi bunuh diri yang dia sebut sebagai “Bom Syahid”. Telah disebutkan bolehnya melakukan aksi jibaku dengan syarat-syarat yang telah kami uraikan, termasuk riwayat di atas. Pada riwayat tidak nampak bahwa person dari pasukan muslim yang melakukan jibaku tersebut melakukan aksi bunuh diri, tapi yang dia lakukan adalah membuat nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap pasukan musuh dan mengetarkan mereka.
Tiga : Termasuk fiqih yang tidak dipahami oleh mereka yang menulis pembenaran terhadap “Amaliyyât Istisyhâdiyyah (amalan-amalan kesyahidan)”, mereka tidak memperhatikan bahwa peperangan tersebut dalam riwayat di atas dipimpin oleh para shahabat Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan dihadiri oleh generasi terbaik pada umat ini. Bersamaan dengan itu, terjadi kesamaran terhadap sebagian generasi terbaik itu, di mana pada mulanya mereka menganggap aksi jibaku tersebut sebagai membinasakan diri. Kalau yang seperti itu mereka anggap sebagai bentuk membinasakan diri, entah bagaimana sikap mereka bila menyaksikan orang-orang yang terang-terangan melakukan aksi bunuh diri dengan sengaja meledakkan dirinya di tengah-tengah musuh seperti yang dilakukan di zaman ini. Dan akan datang tambahan keterangan dalam hal ini pada fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Ar-Râjihy hafizhohullâh.
Empat : Sebab turunnya ayat dari riwayat di atas memang seperti yang disampaikan oleh Abu Ayyûb Al-Anshôry radhiyallâhu ‘anhu. Namun bukan artinya kandungan ayat hanya terbatas pada makna yang melandasi sebab turunnya ayat saja, bahkan yang menjadi patokan adalah seluruh makna yang tercakup oleh konteks ayat, tidak terbatas pada sebab turunnya saja. Demikian pendapat kebanyakan Ahli Tafsîr.
Asy-Syaukany ketika menafsirkan ayat “Dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”, beliau berkata, “Yang haq adalah bersandar kepada keumuman konteks (ayat), bukan pada kekhususan sebabnya. Maka apa saja yang benar untuk disebut sebagai kehancuran dalam agama atau dunia, maka ia masuk dalam (ayat) ini, demikian pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabary. Dan bentuk (kehancuran) yang masuk dalam ayat adalah seorang lelaki yang menceburkan dirinya dalam peperangan kemudian ia menyerang pasukan dengan ketidakmampuannya untuk lolos dan tidak memberikan pengaruh; pengaruh yang bermanfaat bagi para mujahidin.” [23]
(Ditulis al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain Makassar, sumber dari email sebagai bantahan atas buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra bab Meraih Kemuliaan Melalui Jihad…Bukan Kenistaan hal. 379-419".)
- Bersambung, Insya Allah -
Catatan kaki :
1. Aku Melawan Teroris hal. 171.
2. Aku Melawan Teroris hal. 171.
3. Aku Melawan Teroris hal. 178.
4. Aku Melawan Teroris hal. 184-185.
5. Syarah Muslim 13/46.
6. Hâsyiyah Ibnu Âbidîn 4/303.
7. Maksudnya adalah ayat dalam surah Al-Baqarah ayat 195, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.”
8. Dari Ithâf As-Sâdah Al-Muttaqîn Syarah Ihyâ` Ulûm Ad-Dîn 7/26 karya Az-Zabîdy.
9. Al-Mabsûth 10/76.
10. Kebanyakan ulama terdahulu menggunakan kalimat ‘makruh’ untuk yang haram. Demikian pula kata ‘tidak pantas’ kadang bermakna haram. Dan uraian hal ini masyhur dalam buku-buku Ushul Fiqih.
11. Dinukil dari Ahkâmul Qur’ân 1/327 karya Al-Jashshôs dan beliau menyetujuinya.
12. Majmû’ Al-Fatâwâ 28/540.
13. Sebagaimana dalam Al-Inshôf karya Al-Mardâwy 4/124.
14. Al-Qur`ân 1/116. Dan juga baca Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur`ân 2/363-364 karya Al-Qurthuby
15. Ahkam Al-Qur`ân 1/116.
16. Fathul Bâry 8/185-186.
17. Penulis menyimpan beberapa tulisan tersebut dari internet. Tulisan Rabithah ulama Palestina, tulisan Abu Qatâdah Al-Filisthîny, Abu Muhammad Al-Maqdasy, Salmân Al-‘Audah, Hâmid Al-‘Ali, Sulaiman bin Nâshir Al-‘Ulwân, dan Muhammad bin ‘Abdilah As-Saif.
18. Harusnya Al-Mushannaf!
19.Aku Melawan Teroris hal. 175.
20. Harusnya dibaca At-Tujîbi. Baca Al-Ansâb 1/326 karya As-Sam’âny, Terbitan Daar Ihya` Ath-Turats Al-‘Araby, Bairut/cet. Pertama/1999M-1419H.
21. Ini termasuk kejahilan penulis dalam memahami aqidah yang benar. Ta`wîl dengan makna “memalingkan pengertian” tidaklah dikenal dalam istilah syari’at, bahkan memaknakan Ta`wîl dengan seperti itu merupakan ciri kelompok-kelompok yang sesat dalam bab Asmâ` wa Ash-Shifât. Dalam agama kata Ta`wîl hanya dikenal dengan dua perkara; Ta`wîl bermakna tafsir, dan Ta`wîl bermakna sebuah hakikat yang makna kembali kepadanya. Hal ini diuraikan panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Risalah At-Tadmuriyah dan selainnya. Dan demikian pula diterangkan sejumlah ulama lainnya. Dan kami memohon maaf kepada para pembaca, kesalahan di atas bukanlah salah penerjemahan, melainkan suatu hal yang muncul di atas dasar pemahaman ‘aqîdah sang penulis.
22. Fathul Qadîr 1/297.
23. Aku Melawan Teroris hal. 176.
24. Salman Al-‘Audah dalam tulisannya menyebutkan bahwa kisah jibaku Al-Barâ` diriwayatkan pula oleh Ibnu Mubârak dalam Kitâb Al-Jihâd 1/134. Setelah kami rujuk, ternyata sama dengan sanad yang Ibnu Abdil Barr yang kedua. Namun tidak disebutkan aksi jibaku Al-Barâ`. Maka ini termasuk kesalahan dalam memberikan acuan periwayatan.
25. Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqât 7/16. Disebutkan pula oleh Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 3/291 dan Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lâm An-Nubalâ` 1/196.